MANBAUL 'ULUM

PONDOK PESANTREN

Foto Saya
Nama:
Lokasi: bulu - sugihwaras, bjonegoro, Indonesia

Jumat, 28 Januari 2011

BIJI TUMBUH (WIJI TUKUL)

"Kamu calon konglomerat ya, Kamu harus rajin belajar dan membaca, jangan ditelan sendiri. Berbagilah dengan teman-teman yang tak mendapat pendidikan"
Wiji Thukul

Wiji Thukul

author profile


born
August 24, 1963 in Solo, Indonesia

gender
male

genre


about this author

Wiji Thukul Wijaya lahir di Sala 24 Agustus 1963 sebagai anak tukang becak dari keluarga Katolik. Selepas SMP, selama kurang dari dua tahun dia belajar di sekolah Menengah Karawitan Indonesia, sampai putus sekolah pada 1980.

Di Solo, Thukul dibesarkan di kampung miskin yang sebagian besar penghuninya hidup dari menarik becak. Ketika itu bis kota mulai menguasai jalanan, mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan bagi para tukang becak yang penghasilannya semakin merosot. Rentenirpun telah menjadi pengunjung tetap yang kedatanganya selalu menggelisahkan para penghuni kampung.

Semenjak putus sekolah, Thukul mencari nafkah sendiri melalui berbagai pekerjaan tidak tetap. Dia pernah menjadi tukang koran, tukang semir mebel, maupun buruh harian. Selain itu dia pun membaca puisi secara ngamen keluar masuk kampung, kadang-kadang diiringi musik gamelan.

Keterlibatan Thukul dalam teater dan kesenian di Sala dan Jawa Tengah sangatlah luas. Dia pernah mengambil bagian dalam pembacaan puisi di Monumen Pers Surakarta, Pusat Kesenian Jawa Tengah, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Yayasan Hatta di Yogyakarta serta radio PTPN. Sajak-sajaknya secara teratur muncul diberbagai majalah dan surat kabar, dan pada tahun 1984 kumpulan sajaknya berjudul Puisi Pelo diterbitkan dalam bentuk stensilan oleh Taman Budaya Surakarta. Stensilan berikutnya Darman dan lain-lain telah pula diterbitkan, selain sajak-sajaknya pun muncul dalam Antologi 4 Penyair Solo. Kumpulan puisi Suara diproduksinya sendiri bulan Juli 1987 dalam bentuk fotokopi yang dikomentarinya: ”Aku sedang belajar untuk tidak tergantung pada lembaga-lembaga kesenian resmi.”

Awal 1990-an terlibat dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER) yang menjadi anak organisasi Partai Rakyat Demokratik (PRD), partai independen yang didirikan oleh kaum muda dan mahasiswa sebagai partai oposisi rezim Orde Baru.

Tahun 1995 Thukul nyaris kehilangan penglihatannya akibat kebrutalan polisi saat ia memimpin pemogokan buruh-buruh tekstil Sritex. Pasca kerusuhan 27 Juli 1996, di mana PRD dikambinghitamkan sebagai biang kerusuhan oleh pemerintahan Orde Baru, Thukul bersama anggota-anggota sentral PRD harus bersembunyi. Kontak terakhir dengan rekan-rekannya masih terjalin pada 1998. Sejak itu keberadannya tidak diketahui, dan Thukul dikatgeorikan sebagai "orang hilang", korban-korban penculikan pemerintahan militer Orde Baru.

Tahun 2002 Thukul secara in absentia menerima Yap Tiam Hien Award atas perjuangannya di bidang penegakan HAM.
PERINGATAN

jika rakyat pergi
ketika penguasa pidato
kita harus hati-hati
barangkali mereka putus asa

kalau rakyat sembunyi
dan berbisik-bisik
ketika membicarakan masalahnya sendiri
penguasa harus waspada dan belajar mendengar

bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam

apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!

solo, 1986

UCAPKAN KATA-KATAMU

jika kau tak sanggup lagi bertanya
kau akan ditenggelamkan keputusan-keputusan

jika kau tahan kata-katamu
mulutmu tak bisa mengucapkan apa maumu
terampas

kau akan diperlakukan seperti batu
dibuang dipungut
atau dicabut seperti rumput

atau menganga
diisi apa saja menerima
tak bisa ambil bagian

jika kau tak berani lagi bertanya
kita akan jadi korban keputusan-keputusan
jangan kau penjarakan ucapanmu

jika kau menghamba kepada ketakutan
kita memperpanjang barisan perbudakan


Kota Ini Milik Kalian

di belakang gedung-gedung tinggi
kalian boleh tinggal
kalian bebas bangun sewaktu kalian mau
jika kedinginan karena gerimis atau hujan
kalian bisa mencari hangat
di sana ada restoran
kalian bisa tidur dekat kompor penggorengan
bakmi ayam dan *sensor**sensor**sensor**sensor* denting garpu dan sepatu mengkilap
di samping sedan-sedan dan mobil-mobil bikinan asli jepang

kalian bisa mandi kapan saja
sungai itu milik kalian
kalian bisa cuci badan dengan limbah-limbah industri

apa belum cukup terang benderang itu lampu merkuri taman
apa belum cukup nyaman tidur di bawah langit kawan
kota ini milik kalian
kecuali gedung-gedung tembok pagar besi itu jangan!


KUCING, IKAN ASIN DAN AKU (oleh W.T.)

seekor kucing kurus menggondol ikan asin
laukku untuk siang ini
aku meloncat ::marah!::
kuraih pisau
biar kubacok ia
biar mampus ::ger::

ia tak lari tapi mendongak
menatapku tajam

mendadak lunglai tanganku
- aku melihat diriku sendiri! :(

lalu kami berbagi
kuberi ia kepalanya
(batal nyawa melayang)
aku hidup
ia hidup
kami sama-sama makan ;)

::ah:: milip pengalaman oom cendili kan... 8D

bunga dan tembok

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak kau kehendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun rumah
dan merampas tanah

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak kau kehendaki adanya
engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi

seumpama bunga
kami adalah bunga
yang dirontokkan di bumi kami sendiri

jika kami bunga
engaku adalah tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan: engkau harus hancur'

dengan keyakinan kami
dimanapun - tiran harus tumbang'

wiji thukul


luka panjang
menganga, perih
teriris tak
tersembuhkan

kenangan silih
berganti

anak menangis
tertahan
menunggu bapak
tak kunjung
pulang

ibu kehilangan
suami meratap
ketidakpastian

luka panjang
perih tak
tersembuhkan

menoreh panjang
semakin dalam

*tuk sipon dan anak nyang terus
berharap menunggu
wiji thukul pulang

p.s. dhista, wiji thukul ternyata
fenomena penyair rakyat nyang tergilas
kekuasaan nyang nggak mo ilang.


Para Penyair Adalah Pertapa Agung (oleh W.T)

kaum gelandangan yang mendengkur pulas
seperti huruf kanji kumal di emper-emper pertokoan cina
tak pernah terjamah tangan-tangan puisi kita
sebab tak mengandung nilai sastra

keadilan adalah duniawi
bukan tanah ladang puisi
korupsi jangan terusik oleh puisi
puisi cuma mencari jatidiri
jangan dibuka mata batin bagi kemiskinan
dan penindasan
puisi jangan menuntut yang bukan-bukan

para penyair adalah pertapa agung
bermenung di dalam candi
kelima indera dan telinga sukmanya
cukup bagi Tuhan saja
jangan mendengar jerit kehidupan!
para penyair adalah pertapa agung
tergenggam nasibnya oleh nilai dan Dewa-Dewa Sastra
mengurung diri di kesunyian candi
kelima indera dan telinga sukmanya terbelenggu tuli
para penyair adalah pertapa agung
jangan diganggu jangan disambati

katrina
02-09-2000, 09:54 PM
ini puisi W.T. yg pas buat KG yg suka NYENSOR nama2 binatang...

Di Dalam Diriku Ada Hutan

di dalam diriku ada hutan
di dalam hutan tumbuh duri dan buah-buahan
belukar dan jalan-jalan menyesatkan
di dalam gua gelap lahirlah b a b i
yang mirip wajahku
juga gajah dan kuda

ular-ular melata di dalam diriku
aku kadang mirip buaya yang membenamkan mata
tubuh dan juga hatiku sendiri ke dalam rawa-rawa
penuh nyamuk dan berdarah dan bau lumpur

di dalam diriku ada hutan
di dalam hutan itu selalu lahir seorang pemburu
menumpas binatang yang coba menguasaiku
kadang binatangnya yang mampus
tetapi tak jarang pemburunya pun mati terbunuh
di dalam diriku ada hutan
di dalamnya selalu lahirlah seorang pemburu
mencari
Aku

Wiji Thukul dan Orang Hilang

OLEH LINDA CHRISTANTY


15.34, Selasa, 23 Juni 1998

MARCEL tidak kembali juga. Dia seperti serpihan dari pesawat luar angkasa yang meledak di ruang hampa, lepas dari jangkauan grafitasi bumi. Hilang. Begitu pula, Sadeli. Kata H, menurut Mulya Loebis, Sadeli mungkin sudah dieksekusi. Jati dan Reza sudah kembali. Nezar, Aan, dan Mugi bebas bersyarat. Kata beberapa kawan, Marcel disembunyikan para pastor di Filipina. Tapi, aku tidak percaya. Menurut kawan-kawan, dia hilang di Tangerang (setelah bertemu A). Aku pernah sekali melihat ibunya muncul di televisi. Sepasang mata perempuan itu redup berair. Bagaimana ia bisa memahat sepasang mata yang selalu bersinar dan terus-terang pada wajah putranya? N sempat bercerita tentang 103 mayat korban penembakan serta penganiayaan yang mengambang di Kali Bekasi, beberapa waktu setelah kasus penembakan 12 mahasiswa Trisakti. Berita ini ditayangkan Horison. Apakah mereka berdua ada di antara mayat-mayat itu?


Marcel adalah nama lain untuk Bimo Petrus Anugerah, sedang Sadeli adalah nama alias untuk Herman Hendrawan. Keduanya tercatat sebagai aktivis Partai Rakyat Demokratik yang hilang di masa pemerintah Soeharto. Catatan harian ini ditulis sebulan setelah Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden dan meninggalkan sejarah kekerasan yang panjang selama periode kekuasaannya. Setelah evakuasi berkali-kali dalam keadaan yang tak menentu, juga membakar berkas-berkas maupun dokumen demi menjaga kerahasiaan gerakan waktu itu, ganjil rasanya menemukan catatan semacam ini di tumpukan buku di masa tenang.

Ada sebelas kawan saya yang diculik militer di masa Soeharto. Empat orang tidak kembali dan seorang ditemukan sudah menjadi mayat di jalanan. Tapi, anehnya, catatan itu menunjukkan bahwa saya maupun kawan lain tak pernah membicarakan Wiji Thukul sebagai orang keempat. Kami tak menganggapnya sebagai kawan yang mengalami penghilangan paksa, tak pernah menaruh curiga ia turut menjadi korban. Saya—dan mungkin banyak teman—mengira ia tengah bersembunyi di Solo atau berada di suatu tempat, tapi situasi politik waktu itu membuat kawan yang melindunginya merahasiakan keberadaannya dari yang lain. Ini juga hal biasa dalam partai. Tak semua hal perlu diketahui semua orang agar usia perjuangan bisa panjang. Ternyata prasangka serupa terjadi pada istri Thukul, Sipon. Saya mendengar Mbak Pon menyangka ada kawan yang menyembunyikan suaminya dari kejaran militer. Namun, setelah sekian lama Thukul tak ada, masing-masing pihak mulai saling bertanya. Ternyata Thukul memang tak disembunyikan pihak mana pun, Sipon ataupun orang-orang PRD. Sejak itu pencarian Thukul mulai dilakukan. Keluarga dan kawan-kawan Thukul mendatangi lembaga bantuan hukum, mulai percaya bahwa Thukul memang termasuk orang-orang yang hilang di masa Soeharto. Pencarian ini terkesan sangat terlambat. Thukul bahkan tak termasuk dalam daftar orang hilang yang poster-posternya disebarkan Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan, yang suatu kali pernah terpampang di berbagai tembok kota dan rumah-rumah.

Siapakah Wiji Thukul ini? Mengapa ia hilang? Siapa yang menghilangkannya?

Saya mendengar nama Thukul pertama kali pada 1994. Ketika itu pembentukan Persatuan Rakyat Demokratik baru saja selesai dan Wiji Thukul terpilih menjadi ketua divisi budaya organisasi ini. Ada teman yang menyarankan saya untuk bertemu Thukul. “Mungkin, kalian bisa melakukan sesuatu lewat seni dan budaya,” katanya. Ia juga menunjukkan sejumlah sajak Thukul yang saya pikir menyalahi unsur-unsur estetika yang saya pelajari di fakultas sastra. Sajak-sajak itu tidak puitis dan pasti terkesan vulgar bagi banyak mahasiswa di fakultas saya di masa Orde Baru. Bagi mereka, sulit membayangkan keindahan dalam keadaan yang kumuh dan miskin seperti kehidupan buruh, tukang becak, atau masyarakat urban. Tak bakal ada keindahan dalam got yang bau dan keringat yang mengucur deras, yang bisa memicu kelahiran karya sastra. Kemiskinan dan penderitaan hanya melahirkan lembaran pamflet, bukan sajak atau puisi. Saya juga pernah punya anggapan semacam itu, bahwa keindahan sejati hanya terkandung dalam kisah-kisah cinta yang wangi. Keindahan tak bisa beriringan dengan protes yang mengandung kemarahan, tuntutan, dan kekecewaan, seperti apa yang disebut Thukul puisi.

Teori-teori kesusastraan yang saya pelajari tak berpihak pada sajak Thukul. Samuel Tylor Coloridge (1772-1834), sastrawan di masa romantik telah menyebut sajak sejenis karangan yang berlawanan dengan karya sains, bersifat memberi kesenangan langsung. Riffaterre, misalnya, mendefinisikan sajak sebagai ‘mengatakan sesuatu tapi artinya lain’. Sajak pun disebut memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain berbentuk monolog aku-lirik dan bermakna konotatif. Sajak harus mengandung metafora, simile, atau alegori. Pendeknya, untuk memahami sebuah sajak, tidak gampang. Teori-teori tersebut tak cocok untuk sajak-sajak Thukul. Sajak-sajaknya bernada lugas dan mudah dipahami, tak bermain kiasan atau perbandingan yang rumit.

Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan/di sana bersemayam kemerdekaan/apabila engkau memaksa diam/aku siapkan untukmu: pemberontakan!

Dalam bait Sajak Suara-nya yang terkenal itu Thukul menyuarakan rasa ketertindasan rakyat kecil di masa Soeharto, yang dirinya pun menjadi bagian dari mereka. Seni bagi Thukul adalah seni yang terlibat, menyatu dalam dinamika masyarakatnya, bukan hasil imajinasi belaka.

Pada tahun itu juga saya berangkat ke Solo dan menemui Thukul di Kampung Kalangan bersama Raharja Waluya Jati, kawan aktivis di Yogyakarta. Kami memasuki pemukiman kumuh di tengah kota, yang dihuni para buruh pabrik, tukang becak, kuli rendahan, dan orang-orang yang paling tak diperhitungkan pendapatnya dalam sebuah pemerintahan otoriter. Di tengah kampung inilah sajak-sajak Thukul lahir. Thukul tak hanya menyuarakan kesengsaraan mereka, tapi juga membangkitkan semangat untuk melawan ketidakadilan itu. Sajak-sajaknya bukan semata-mata hardikan pada kekuasaan, tapi juga jalan keluar bagi orang yang ditindas, jalan yang tak disukai penguasa.

Kami melihat anak-anak kecil bertelanjang kaki berlarian di bawah terik matahari, menghirup hawa busuk yang menguap dari pembuangan limbah industri. Kami berhenti di muka sebuah rumah sewaan dan seorang pria kurus berkaos oblong putih merek Swan menyambut di ambang pintu. Betapa ringkihnya orang ini, pikir saya, tak sepadan dengan keberanian sajak-sajaknya. Bicaranya pelat dan derai tawa terdengar di ujung kalimat-kalimatnya. Thukul tinggal dengan seorang istri dan dua anak yang masih balita, Nganti Wani dan Fajar Merah. Dia menyuguhkan singkong rebus pada tamunya.

Kehidupannya miskin. Rumah itu berlantai tanah. Di ruang muka membentang sehelai plastik biru bahan tenda pedagang kaki lima yang berfungsi sebagai alas duduk. Sebuah mesin jahit berada di tengah ruangan tersebut, alat pencari nafkah si penghuni rumah. Kamar mandi berbau tak sedap terletak di luar, tanpa kran air ledeng.

Tapi, Thukul punya sebuah ruang istimewa; perpustakaan. Ini satu-satunya kemewahan. Di sana ada buku Antonio Gramsci, Bertolt Brecht, Raymond Williams, Marx, …. Kebanyakan buku berbahasa Inggris. Beberapa anak kampung tengah bertandang ke rumah Thukul ketika kami datang. Mereka belajar menggambar dengan teknik cukil kayu. Saya masih ingat salah seorang yang ramah dan suka bertanya. Namanya, Trontong. Nganti Wani kelihatan paling kecil, menyela di antara mereka.

Anak-anak tersebut tergabung dalam Sanggar Suka Banjir. Mereka belajar menggambar, mengarang, membaca, dan bermain teater di situ. Thukul mengajarkan apa yang tak mereka peroleh di sekolah, yaitu mengekspresikan dengan jujur perasaan serta pengalaman sehari-hari mereka. Semua karya bertumpu pada hal-hal nyata. Bahkan, suatu hari sanggar ini mementaskan lakon tentang banjir dan di akhir pertunjukannya pemain serta penonton beramai-ramai mengunjungi rumah lurah untuk mengadukan tanggul yang jebol. Melalui permainan, Thukul telah menanamkan rasa percaya diri pada anak-anak kampung agar tak gentar menyatakan kebenaran. Dalam keterbatasan selalu ada jalan. Kelompok teater dari luar Indonesia juga pernah berkunjung ke Sanggar Suka Banjir dan membagi pengetahuan baru untuk anak-anak tersebut. Kampung Kalangan yang sempit seakan berubah luas, memberi anak-anak miskin itu kegembiraan.

Thukul juga melatih buruh-buruh pabrik bermain teater. Konsep sebuah teater buruh di Afrika Selatan mengilhaminya. Buruh-buruh memerankan pengusaha, satpam, mandor, supervisor, dan diri mereka sendiri. Buruh yang memerankan majikan berdebat dengan buruh yang memerankan dirinya. Mereka belajar bernegosisasi lewat teater. Selama ini para buruh merasa tak punya kemampuan menjelaskan tuntutan mereka di hadapan pengusaha atau pihak departemen tenaga kerja yang mereka sebut ‘orang-orang pintar’ itu. Kalimat-kalimat mereka selalu dipatahkan dengan kelihaian pengusaha berargumentasi. Tuntutan-tuntutan kesejahteraan mereka tak dipenuhi. Thukul melatih buruh-buruh berbicara, membangkitkan rasa percaya diri mereka untuk berhadapan langsung dengan pemilik modal yang menentukan upah mereka dalam kehidupan nyata. Latihan ini semacam simulasi. Meski pengusaha punya pembela hukum, buruh-buruh tak perlu gentar. Dengan bersatu, kekuatan mereka akan lebih besar dan didengar. Thukul melakukan pengorganisasian buruh dengan cara ini untuk PRD.

Pada Agustus 1994, setelah beberapa kali bertemu, kami sepakat membangun Jaringan Kerja Kesenian Rakyat dan sepakat berpihak pada rakyat tertindas dalam karya-karya kami. Bentuk jaringan dipilih berdasarkan kondisi dunia kesenian saat itu, yang para pekerjanya jauh dari pengalaman berorganisasi dan sukar berdisiplin, menganggap organisasi identik dengan penyeragaman yang bisa mematikan kebebasan berkreasi mereka. Orang tak punya referensi tentang organisasi kesenian yang modern, selain paguyuban. Setidaknya, bentuk jaringan ini tak membuat mereka merasa dikekang.

Pengetahuan berorganisasi memang telah dihancurkan sejak peristiwa 1965. Pemerintah Soeharto membubarkan puluhan partai maupun organ sektoralnya menjadi tiga partai yang telah mereka tentukan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan Golongan Karya. Orde Baru tak memberi kebebasan pada rakyat untuk mendirikan organisasi dan berbeda pendapat. Rakyat yang terorganisasi bisa mempunyai kekuatan untuk mengancam kekuasaan, punya posisi tawar yang besar. Negara menciptakan organisasi untuk mengontrol rakyat, menciptakan ketakutan bahwa dengan tak masuk partai Golongan Karya atau Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, misalnya, nasib seseorang bisa buruk. Zaman itu tak banyak seniman yang berani berseberangan dengan pemerintah Orde Baru. Wiji Thukul tergolong mereka yang langka itu.



Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendakiadanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!

Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang!


Thukul menggunakan kiasan ‘tembok’ untuk penguasa, dan ‘bunga’ untuk rakyat yang dirampas tanah dan rumahnya. Sikapnya terhadap tirani jelas tergambar dalam sajak: harus tumbang!

Thukul sudah dianggap menentang pemerintah jauh sebelum ia terlibat dalam partai. Baginya perlawanan terhadap ketidakadilan adalah naluri. Pada 1989, Badan Koordinasi Intelijen Negara, menelepon Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta lantaran lembaga ini dianggap merekomendasikan aktivitas berkesenian Thukul. “Kata BAKIN, Wiji Thukul itu ‘kan orang yang mau mendongkel negara kita,” ujar Jaap Erkelens dari Koninklijk Instituut Voor Taal, Land en Volkenkunde, yang juga teman baik Thukul, mengulang cerita orang lembaga tersebut.

“Thukul juga sudah langganan ditangkap dan disiksa Koramil setempat,” kata Erkelens. Bahkan, pada masa itu, Thukul sempat ditahan Koramil di Solo gara-gara menerima paket buku dari Belanda. Pihak kantor pos yang bekerja sama dengan militer telah melaporkan soal kiriman tersebut.

“Sajak-sajak Thukul itu berisi protes sosial, yang dalam hal ini terbentur pada politisi,” kata Erkelens, lagi.

Di dalam negeri Thukul dimusuhi, tapi sajak-sajak tersebut membuat Thukul memperoleh penghargaan Wertheim Encourage Award yang pertama pada 1991 bersama penyair WS Rendra. Penghargaan ini dibuat sebagai penghormatan pada sosiolog Belanda Willem Frederik Wertheim, yang anti-kolonialisme dan tak suka pada prilaku pemerintah Soeharto. Ketika InterGovernmental Group on Indonesia (sekarang Consultative Group on Indonesia), sebuah lembaga donor yang diprakarsai pemerintah Belanda berdiri pada 1967, Wertheim menulis artikel berjudul “Tuan Sudah Kembali”, memperingatkan orang akan bentuk kolonialisme baru yang lebih maju dan tersembunyi.

Untuk mempopulerkan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat, masih pada 1994, organisasi ini mendukung pameran pelukis Moelyono di Yogyakarta. Pameran Moelyono bertema kehidupan nelayan. Kartu-kartu pos yang dilukis anak-anak nelayan turut dipamerkan. Kartu-kartu tersebut menunjukkan sikap aparat atau rentenir yang terjadi di sekeliling mereka, juga intimidasi dan ketidakadilan yang berlangsung sehari-hari. Bila Thukul hidup dengan anak-anak kaum miskin di perkotaan, Moelyono dekat dengan anak-anak nelayan di wilayah pantai Tulung Agung, Jawa Timur.

Pada tahun ini juga, aksi petani terjadi di Ngawi, Jawa Timur. Thukul yang memimpin massa dan melakukan orasi ditangkap serta dipukuli militer.

Dalam aksi-aksi massa semacam inilah, sajak-sajak Thukul sering dibacakan. Aksi yang terkadang memakan waktu berjam-jam dan tak jarang di tengah terik matahari membuat pembacaan sajak menjadi hiburan, selain memberi semangat dan ketidakgentaran menghadapi militer yang selalu menghadang tiap aksi protes.

Ada tiga sajak Thukul yang populer dan menjadi sajak wajib dalam aksi-aksi massa, yaitu Peringatan, Sajak Suara, dan Bunga dan Tembok (ketiganya ada dalam antologi Mencari Tanah Lapang yang diterbitkan oleh Manus Amici, Belanda, pada 1994. Tapi, sesungguhnya antologi tersebut diterbitkan oleh kerjasama KITLV dan penerbit Hasta Mitra, Jakarta. Nama penerbit fiktif Manus Amici digunakan untuk menghindar dari pelarangan pemerintah Orde Baru).

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!


1994 merupakan tahun yang ramai bagi situasi nasional. Tiga media massa, Tempo, Detik, dan Editor dibredel. Aksi protes berlangsung di Jakarta dan berbagai kota. Para jurnalis turun ke jalan bersama mahasiswa dan organisasi pro demokrasi seperti Pijar, SMID, Formaci, Aldera, dan sebagainya. Akhirnya, tak semua rencana bisa berjalan mulus untuk kesenian dan Jaringan. Seiring situasi politik Indonesia yang makin represif di masa Soeharto, PRD berkonsentrasi pada pengorganisasian kaum buruh dan mendukung perjuangan rakyat Timor Timur untuk merebut kemerdekaannya. Pada Mei 1995, Pusat Perjuangan Buruh Indonesia, onderbouw partai, melakukan aksi mogok bersama sekitar 5000 buruh PT Great River di gedung DPR RI, Jakarta, disusul aksi lompat pagar kedutaan beberapa negara tetangga bersama para aktivis Timor Timur yang anti integrasi. Pada tahun yang sama Thukul memimpin pemogokan buruh-buruh PT Sritex di Sukoharjo, Surakarta. Dalam aksi buruh Sritex ini Thukul nyaris buta akibat kekerasan aparat.

Banyak seniman di masa Orde Baru tak setuju pada sikap Thukul ini. Mereka menganggap seni tak bisa dicampuradukkan dengan politik. Seni untuk seni dan politik hanya mengotori kesuciannya. Tapi, di seluruh dunia selalu ada masa saat orang terpaksa berhadapan dengan sistem yang menindas dan seniman ikut terpanggil menentangnya. Jose Rizal, pahlawan rakyat Filipina, yang dieksekusi penjajah Spanyol, juga seorang sastrawan besar. Nikolai Vaptsarov, pemimpin rakyat Bulgaria menentang fasisme, juga penyair yang sangat terkenal di negerinya. Fransisco Borja da Costa, penyair Timor Lorosae, yang mati ditembak tentara Indonesia, sajak-sajaknya telah menjadi lagu rakyat Timor Timur.

Di masa Soeharto, orang tak bisa sendirian menentang kesewenang-wenangan itu dan mereka merasa perlu bersatu dalam perjuangan yang terorganisasi. Thukul memilih bergabung dalam PRD.

Pada Juni 1996 Pusat Perjuangan Buruh Indonesia dan PRD memimpin aksi mogok buruh di dua kawasan industri di Surabaya. Tiga aktivis PRD, Dita Indah Sari, Coen Husain Pontoh, dan Soleh, ditangkap dan dipenjarakan.

Percepatan politik melawan pemerintah Soeharto terjadi pada tahun yang sama. Pemicunya datang dari masalah internal Partai Demokrasi Indonesia. Partai berlambang banteng ini terpecah menjadi dua kubu, pro Soerjadi dan pro Megawati Soekarno. Kelompok pro Soejadi yang didukung pemerintah, militer, dan sejumlah pengusaha menjegal Megawati naik ke kursi ketua dengan melakukan kongres tandingan. Massa pendukung Megawati protes. Mereka membuka panggung demokrasi di kantor dewan pimpinan pusat partai itu, di Jalan Diponegoro 76, Jakarta Pusat. Tokoh-tokoh oposisi ikut berorasi di sana, seperti Gus Dur, Budiman Sudjatmiko, Mochtar Pakpahan, dan Sri Bintang Pamungkas. Pemerintah Orde Baru merasa terganggu. Kehadiran Mega dianggap bisa menjadi simbol perlawanan grass root ini, setidaknya mengingatkan orang pada keberpihakan Soekarno terhadap kaum miskin dulu. Momentum untuk mengakhiri kekuasaan Orde Baru yang korup sebagian bersandar pada massa yang militan tersebut. PRD memutuskan untuk mendukung perjuangan mereka. Tapi, pemerintah melihat hal ini tak menguntungkan. Pemerintah kemudian mengeluarkan teori tentang kuda Troya (Taktik Troya menaklukkan Sparta dengan mengirim kuda kayu raksasa yang ternyata berisi prajurit Troya). PRD dianggap menunggangi massa PDI yang besar itu untuk menghadapi pemerintah Soeharto.

Pada 27 Juli 1996, preman yang didukung aparat menyerbu kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Mereka mengenakan kaos PDI pro Soerjadi. Keterangan resmi Komisi Nasional hak-Hak Asasi Manusia menyebutkan 23 orang hilang, lima meninggal dunia, dan 149 luka-luka akibat serangan itu. Namun, korban yang jatuh lebih banyak.

PRD dituduh sebagai dalang peristiwa 27 Juli. Struktur dan bagan organisasi serta nama sejumlah kawan disiarkan di televisi. Pada 10 Agustus 1996, Budiman Sudjatmiko dan pengurus lain ditangkap dan ditahan. Kepemimpinan partai diambil alih sebuah komite tertutup. Taktik perjuangan berubah menjadi bawah tanah.

Saya kehilangan kontak dengan Wiji Thukul pada masa ini. Ia menghilang, tak berkoordinasi. Saya kira, hal ini wajar terjadi. Ini pengalaman pertama kami menerima serangan cukup besar dari pemerintah. Saya tak yakin kawan-kawan di daerah punya kesiapan lebih baik. Jadi, Thukul memutuskan menyelamatkan diri dulu sambil membangun kontak kembali. Komunikasi organisasi dengan kota-kota lain dilakukan lewat internet. Berita-berita tentang situasi politik Indonesia yang tak dimuat media mainstream disebarkan media alternatif seperti Siar dan Kabar dari Pijar ke publik lewat milis Apakabar, yang dikelola John McDouglas.

Pada awal 1997, kami menemukan kembali puisi-puisi Thukul di internet. Ia tak menyebutkan keberadaannya. Tapi, puisi-puisinya berganti warna, lebih murung dan kontemplatif, meski masih bernada protes sosial. Saya kira, situasi dalam pelarian tidak menyenangkan hatinya. Ia juga terpisah dari gejolak sosial dan politik yang memberinya inspirasi. Belakangan saya baru tahu kalau ia pergi ke Kalimantan dan hampir setengah tahun tinggal di sana.

Pemilihan umum 1997 di ambang pintu. Pemerintah Orde Baru makin memperkuat diri. Partai Persatuan Pembangunan, yang berbasiskan umat Islam, mulai tak sejalan dengan kebijakan pemerintah. Sebelumnya partai ini dikenal konservatif. Massa pendukung Megawati berusaha bangkit pasca 27 Juli, berusaha berkonsolidasi. Kini pemerintah Soeharto menjadi musuh bersama. Elite-elite politik yang semula mendukung Soeharto mulai berbalik arah, melihat desakan rakyat dan mahasiswa yang besar menuntut kemundurannya dari kursi presiden. Harmoko, juru bicaranya yang baik, ikut memancing di air keruh. Ia menghimbau Soeharto mundur di televisi.

Wiji Thukul telah kembali dari Kalimantan dan ia diminta membantu kawan-kawan di Jakarta. Saya kembali bekerja bersama Thukul. Tapi, pada November 1997, Thukul meminta izin untuk pulang ke Solo pada saya. Ia berjanji menghubungi saya lagi seminggu kemudian. Janji tersebut tidak dipenuhinya. Itulah kontak terakhir saya dengan Thukul.

“Terakhir kali saya ketemu dia Desember 1997,” kata Jaap Erkelens. Namun, sejumlah orang masih melihatnya di Jakarta pada April 1998. “Pada Mei 1998, ia benar-benar menghilang,” lanjut Erkelens.

Mei 1998, Soeharto turun. Kerusuhan terjadi di Jakarta. Di tengah aksi massa yang menuntut pemerintahan transisi meledak kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jakarta. Banyak toko dibakar dan dijarah. Ratusan perempuan Tionghoa diperkosa. Juni 1998, sebulan setelah Soeharto turun, kerusuhan bertema sejenis telah menjalar ke beberapa daerah. Mochtar Pakpahan dari Serikat Buruh Seluruh Indonesia membuat pernyataan di media massa bahwa Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia berada di balik kerusuhan-kerusuhan itu. Pernyataan ini dibalas Amien Rais dengan tak kalah emosional. Amin menuduh Mochtar itu PKI dan komunis. Akibatnya, di masjid-masjid dipasang pengumuman bahwa gerakan buruh harus diwaspadai, karena komunis berada di belakangnya. Ada juga yang menyebutkan Thukul dihilangkan aparat pada masa ini. Ia dilenyapkan sebagai konsekuensi aktivitas politiknya, yang menjadikan seni sebagai cara.

Pencarian orang-orang hilang terus dilakukan sampai hari ini. Tapi, selama lima tahun berjalan belum ada titik terang. Sejumlah anggota Komando Pasukan Khusus yang tergabung dalam Tim Mawar telah diadili, tapi mereka mengaku semua aktivis yang mereka culik telah dibebaskan dan dalam keadaan hidup. Prabowo Subianto juga menegaskan hal serupa. Wiji Thukul dan orang-orang yang hilang itu seolah terkubur bersama kejatuhan Soeharto.

Bagaimana nasib Mbak Pon, Wani, Fajar, dan anak-anak Sanggar Suka Banjir itu sekarang?

Mbak Pon masih menjahit pesanan dengan mesin jahit tuanya untuk membiayai keluarga. Nganti Wani telah tumbuh jadi gadis remaja yang suka menulis puisi seperti ayahnya. Fajar Merah sudah masuk sekolah. Trontong, sahabat kecil Thukul itu, kini sudah dewasa. “Dia sekarang jadi buruh,” kata Mas Slamet, teman Thukul, yang mengajari anak-anak menggambar. Dan Thukul tak bisa menyaksikan ini.

 
 

OUR HEROES

JEJAK SOEKARNO


Soekarno, Megawati, dan Islam
Setelah memaparkan apa adanya tentang Jenderal Suharto, maka kini kita akan membahas Soekarno, tokoh bangsa yang memiliki segudang kontradiksi di dalam dirinya. Soekarno adalah seorang yang besar, siapa pun tidak akan menyanggah hal itu. Demi menggapai impian memerdekakan negeri dan bangsanya, Soekarno rela menghabiskan 25 tahun kehidupannya di dalam penjara kaum penjajah. Dia juga bukan tipe pemimpin yang korup, sesuatu yang membuatnya sangat berbeda dengan sosok Jenderal Suharto. Walau demikian, sebagai seorang manusia biasa, Soekarno juga memiliki sejumlah catatan buruk yang tidak boleh diulang oleh generasi penerus bangsa ini.

Diakui atau tidak, di mata rakyat kecil, nama Soekarno masihlah harum. Sebab itu, walau Soekarno telah wafat puluhan tahun silam, namun sampai sekarang masih saja banyak orang yang ‘memperalat atau menunggangi’ kebesarannya demi menggapai ambisi pribadi dan juga kelompoknya. Dari yang mengaku sebagai titisan Soekarno, seperti yang dilakukan oleh pemimpin aliran sesat Satrio Piningit yang menyita perhatian publik nasional awal Februari lalu, sampai dengan ‘tradisi’ seorang Megawati Soekarnoputeri yang selalu memajang foto atau gambar Bung Karno sebagai latar belakang foto dirinya.
Apa yang diperbuat Megawati adalah suatu hal yang sesungguhnya wajar, karena secara biologis, Megawati memang adalah anak kandung Soekarno dari isterinya yang bernama Fatmawati. Namun fakta sejarah telah menunjukkan jika klaim tersebut hanya cukup sampai di situ, karena secara prinsip politik dan ekonomi, kebijakan yang diambil Megawati ternyata malah bertolak-belakang dengan prinsip-prinsip politik dari seorang Soekarno.
Untuk memaparkan apa adanya tentang Soekarno, kesamaan dan perbedaan antara Soekarno dengan Megawati, juga kaitannya dengan Islam dan umat Islam Indonesia dalam perjalanan sejarah bangsa ini, maka tulisan ini dibuat berseri. Mudah-mudahan, hal ini bisa dijadikan ibrah bagi kita semua.
HOS Tjokroaminoto, Awal Pergerakan
Soekarno dilahirkan di Lawang Seketeng-Surabaya, 6 Juni 1901, dari pasangan Ida Ayu Noman Rai—seorang perempuan berdarah bangsawan Bali—dan Raden Soekemi Sosrodihardjo, juga seorang ningrat dari Jawa Timur. Walau demikian, kehidupan keduanya tidak bisa dibilang makmur, malah serba berkekurangan. Sebab itu, Soekarno kecil yang bernama Kusno Sosrodihardjo mengaku jika masa kecilnya lebih banyak dihabiskan untuk membaca buku ketimbang bermain dengan teman sebaya yang mampu membeli petasan dan sebagainya.
DI masa kecil, keluarga Kusno pindah dari Surabaya ke Sidoardjo sebentar dan kemudian menetap di Mojokerto, Jawa Timur. Usia 14 tahun , Kusno masuk ke Hoogere Burger School (HBS), setingkat SLTP, dan menumpang (bahasa Jawa: Ngengger) di rumah HOS Tjokroaminoto, Ketua Syarikat Islam (SI). Saat ngengger di rumah itulah, Soekarno berkenalan dengan arus pergerakan nasionalisme Indonesia. HOS Tjokroaminoto banyak kedatangan tamu-tamu sesama aktivis pergerakan nasional di rumahnya, berdiskusi tentang berbagai perkembangan politik dan ekonomi bangsanya, berkeluh-kesah tentang kian rakusnya imperialis Belanda dan juga Barat menghisap kekayaan alam Nusantara, membahas kehidupan rakyat kecil yang kian sengsara, semua itu didengar oleh Soekarno remaja.
Soekarno juga melihat dengan mata kepala sendiri kesewenang-wenangan penjajah Belanda terhadap HOS Tjokroaminoto. Di tahun 1915, tersiar berita jika HOS Tjokroaminoto menerima sejumlah uang dari kaki-tangan Jerman untuk menggulingkan pemerintahan kolonial Belanda. Polisi rahasia Belanda (PID) mengirim salah seorang agennya bernama Agus Salim untuk mencari tahu kebenaran berita tersebut dengan mengutusnya untuk mendekati HOS Tjokroaminoto. Agus Salim pun masuk Syarikat Islam.
Dari berbagai informasi yang masuk ke telinga PID inilah, HOS Tjokroaminoto yang dijuluki Raja Jawa Tanpa Mahkota ini dipanggil berkali-kali ke kantor PID untuk diinterogasi. Namun disebabkan bukti yang ada sangat kurang, maka kasus ini pun berakhir begitu saja. Lain halnya dengan Agus Salim. Pemuda Minangkabau yang cerdas ini malah tertarik untuk benar-benar bergabung dengan Syarikat Islam yang memperjuangkan Indonesia Merdeka dan keluar dari PID. Kisah tentang Agus Salim ini bisa dibaca di memoar Agus Salim sendiri berjudul “Benarkah Saya Seorang Spion?”.
Di antara murid-murid politik HOS Tjokroaminoto, terdapat tiga orang yang menonjol. Mereka adalah Soekarno, Muso, dan Kartosuwiryo. Kelak, ketiganya merupakan pelopor bagi ideologi pergerakan di Indonesia. Muso menjadi pemimpin gerakan komunisme (PKI), Kartosuwiryo menjadi pemimpin pergerakan Islam (DI), dan Soekarno memimpin pergerakan nasionalisme, dengan mencoba merangkum tiga aliran pergerakan besar di Indonesia menjadi Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme).
Setelah melahap banyak buku dan berdiskusi dengan banyak aktivis pergerakan, Soekarno menyimpulkan jika musuh besar bagi bangsa Indonesia adalah imperialisme dan kolonialisme, yang dilakukan negara-negara utara terhadap negara-negara selatan. Dengan pisau bedah Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis, yang memang sangat tajam mengurai tentang kejahatan kapitalisme, Soekarno merumuskan paham gerakan politiknya sendiri yang kemudian dikenal sebagai “Marhaenisme”. Dalam suatu kesempatan, Soekarno menyatakan jika Marhaenisme adalah Marxisme yang di Indonesiakan.
Marhaenisme, diakui sendiri oleh Soekarno adalah sintesa daripada filsafat Marxisme (Materialisme-Historis dan Materialisme-Dialektis), Islam, dan Nasionalisme. Soekarno sangat teguh memegang prinsipnya ini hingga berpuluh tahun kemudian menyodorkan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) bagi pola pemerintahannya.
Abad di mana Soekarno lahir dan tumbuh adalah abadnya bangsa-bangsa selatan bangkit melawan penghisapan yang dilakukan imperialisme negara-negara utara. Sebab itu, salah satu obsesi seorang Soekarno adalah menghapuskan penindasan yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya. Exploitation de l’homme par l’homme. Untuk mampu mengusir penjajah Belanda yang telah menghisap kekayaan negeri ini sejak abad ke-16 M, maka seluruh komponen bangsa ini harus bersatu-padu melawan penjajahan. Sebab itu, sejak muda Soekarno terobsesi untuk bisa menggalang persatuan dan kesatuan bangsa ini di atas segalanya. Prinsip ini terus dipegangnya hingga ke liang lahat.
Salah satu episode dalam sejarah bangsa ini telah membuktikan betapa persatuan dan kesatuan dipegang teguh oleh seorang Soekarno. Saat itu, menyusul tragedi subuh 1 Oktober 1965, kekuasaan Soekarno sedikit demi sedikit dilucuti oleh Jenderal Suharto. Lewat berbagai intrik dan konspirasi dengan CIA, sejumlah perwira angkatan darat di bawah Suharto secara terselubung maupun terang-terangan telah bersikap membangkang terhadap Soekarno yang saat itu masih sah sebagai Presiden dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Hal ini membuat geram sejumlah kesatuan lain yang masih loyal pada Soekarno. Salah satu kesatuan yang dikenal sangat loyal pada Panglima Tertingginya adalah Marinir. “Putih kata Bung Karno, putih kata marinir. Hitam kata Bung Karno, hitam pula kata marinir!”, demikian tegas Panglima Marinir Mayjen (Mar) Hartono.
Pertengahan Maret 1966, Jenderal Marinir Hartono ini menghadap Bung Karno dan meminta izin agar pasukannya diperbolehkan memukul habis kekuatan Jenderal Suharto. Beberapa Batalyon dikatakan juga bersedia membantu seperti Kodam Brawijaya dan beberapa kesatuan dari AURI dan Kepolisian.
Namun permintaan ini ditentang Soekarno dengan mengatakan antara lain jika Soekarno tahu jika dirinya tengah dihabisi. “Biarlah Soekarno tenggelam sendirian asal bangsa dan negara Indonesia tetap hidup. Saya tidak mau terjadi peperangan saudara yang merobek-robek persatuan yang saya bangun selama ini,” tegasnya.
Dan sejarah pun mencatat bahwa Soekarno meninggal dalam status tahanan rumah dalam rezim fasis Jenderal Suharto. Mayjen (Mar) Hartono sendiri dibuang dengan mendubeskan dia ke Pyongyang, Korea Utara. Tokoh Marinir yang sangat pemberani dan loyal kepada Bung Karno ini ditemukan tewas ditembak kepalanya pada pagi hari, awal Januari 1971, di Jakarta. Banyak kalangan menganggap keterangan pemerintah Suharto yang menyatakan Hartono bunuh diri adalah bohong belaka. Rekannya sesama tokoh Marinir saat itu, Ali Sadikin, menegaskan jika kematian Hartono diliputi kemisteriusan. Banyak yang menduga Jenderal (Mar) Hartono menjadi korban konspirasi jahat rezim Jenderal Suharto.
Pokok-Pokok Soekarnoisme
Sejak kecil Soekarno telah berkenalan dengan ide-ide besar dari orang-orang besar di seluruh dunia dari kerakusannya membaca buku. Di usia 25 tahun, dalam Suluh Indonesia Muda (1926), terbit sebuah artikelnya yang berjudul “Nasionalistis, Islamistis, dan Marxistis”. Di dalam artikelnya ini, Soekarno menyatakan, “Bukannya kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berobah paham menjadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh yang Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita ialah kerukunan, persatuan antara ketiga golongan itu.”
Artikel tersebut ditulis Soekarno sebagai bentuk keprihatinannya melihat pecahnya Syarikat Islam “Putih” pimpinan Agus Salim dengan Syarikat Islam “Merah” yang dipimpin Semaun yang kemudian bekerjasama dengan tokoh-tokoh ISDV—partai sosialis Belanda—seperti Snevliet dan Baars. Syarikat Islam Merah ini kemudian menjadi “Syarikat Rakyat”, lalu berubah menjadi Partai Komunis Indonesia.
Di tahun 1926-1927, saat berjalan-jalan di wilayah Bandung selatan, di pematang-pematang sawahdi Cigareleng, Soekarno bertemu dengan seorang petani penggarap bernama Marhaen. Keduanya kemudian terlibat tanya jawab sederhana.
“Pak Marhaen, cangkul yang bapak pegang itu punya siapa,” tanya Soekarno.
“Milik saya,” jawab Marhaen.
“Lalu sawah yang bapak kerjakan itu milik siapa?”
“Milik orang lain,” jawabnya lagi.
Dialog singkat ini telah memahat kesan yang sangat mendalam di otaknya. Dalam ilmu teori Materialisme Historis, orang seperti Marhaen tidak bisa dikategorikan sebagai proletar, karena masih menguasai alat produksi walau itu hanya sepotong cangkul. Dalam teori Marxisme, seorang proletar adalah seseorang yang bekerja semata-mata mengandalkan tenaga. Sedang alat-alat produksinya dan juga tempatnya bekerja dikuasai oleh pemilik modal. Sebab itu, Pak Marhaen tidak bisa dikategorikan sebagai proletar. Maxisme malah memandang Pak Marhane sebagai petite borguise atau Borjuis kecil, walau Pak Marhaen hidupnya pas-pasan.
Walau menguasai alat produksi, namun Marhaen ternyata hidupnya juga miskin dan tertindas. Sebab itu, Soekarno merasa Marxisme dalam bentuk yang murni tidaklah tepat untuk menilai kondisi riil di Indonesia saat itu.
Sebab itulah, Soekarno merumuskan doktrin perjuangan politiknya sebagai Marhaenisme, yakni Marxisme yang telah di-Indonesiakan, suatu prinsip perjuangan yang mencita-citakan sosialisme Indonesia. Tujuan dari prinsip ini adalah mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia yang berkeadilan dan mandiri, lepas dari campur tangan kaum imperialisme. Marhaenisme jelas bertentangan dengan salah satu pokok Marxisme yaitu pertentangan kelas. Dalam Marhaenisme, semua kekuatan dan komponen bangsa harus bersatu untuk mewujudkan cita-cita sosialisme Indonesia. Inilah cikal bakal dari Nasakom.
Pokok ajaran Soekarnoisme yang kedua adalah Revolusi Indonesia yang memiliki dua tahapan: Pertama, tahapan revolusi borjuis nasional dan kemudian tahapan revolusi sosialisme Indonesia.
Dalam tahapan pertama, kaum Marhaen bersama kaum proletar harus bisa bersatu-padu dengan kaum borjuis nasional—sisa-sisa feodalis lama—untuk berjuang bersama-sama menghancurkan kekuasaan kolonialisme dan imperialisme asing yang telah menjajah Indonesia demi memerdekakan negara dan bangsa Indonesia dahulu. Sebab itulah, tahap pertama revolusi nasional mencapai kemerdekaan disebut sebagai “Jembatan emas menuju kemerdekaan.”
Tahap kedua, setelah merdeka, maka barulah tahap kedua dari revolusi Indonesia dilakukan yakni memerdekakan seluruh anak bangsa dari kemiskinan dan kebodohan. Tahap ini dikenal dengan istilah “Nation and Character Building”.
Pokok-pokok Soekarnoisme bisa diringkas menjadi beberapa point, yakni:
• Persatuan dan kesatuan seluruh elemen bangsa,
• Prinsip berdikari dalam mengelola kekayaan alam bangsa yang berarti tidak tergantung pada kekuatan asing (Kekuatan kolonialisme dan imperialisme Barat),
• Pembangunan karakter bangsa guna menghapus perasaan minder (minderwaardigheid-complex) yang telah ditanamkan ratusan tahun oleh penjajah asing sehingga bangsa Indonesia memiliki kebanggaan sebagai orang Indonesia dan setara sebagai warga dunia.
Hubungan dengan Islam
Soekarno merupakan satu-satunya presiden sebuah negara di dunia yang menyatakan jika dirinya meninggal maka jenazahnya ditutupi dengan bendera Muhammadiyah, bukan bendera negara. Seperti yang dikatakannya dalam “Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” (Cindy Adams).
Walau demikian, hubungan antara Soekarno dengan tokoh-tokoh Islam mengalami putus-sambung yang cukup sering intensitasnya.
Soekarno muda mendapat gemblengan prinsip-prinsip politik dari seorang tokoh Syarikat Islam bernama H. O. S. Tjokroaminoto. Buku Tjokroaminoto yang ditulis pada tahun 1924 berjudul “Islam dan Sosialisme” (Diterbitkan oleh PN. Bulan Bintang, 1951), merupakan salah satu inspirator bagi Soekarno dan titik awal bagi pandangan Islam Sosialistiknya. Menurut Soekarno, Islam merupakan sebuah ideologi perjuangan yang sama sekali tidak akan pernah akur dengan kapitalisme, sebab kapitalisme hanya bisa hidup jika berjalan di atas rel penindasan manusia terhadap sesama manusia lainnya dalam bentuk “The Surplus Value” dalam sistem kerjanya atau bisa disamakan dengan Riba. Kapitalisme hanya bisa hidup jika kaum Pemodal (Kaum Pengusaha) menghisap kaum pekerja (Buruh) dan juga kaum Marhaen lainnya (Wong Cilik).
Pada 29 Desember 1929, Soekarno bersama sejumlah tokoh PNI (Partai Nasional Indonesia) ditangkap dan dijebloskan ke penjara Banceuy, Bandung. Oleh Belanda, mereka dianggap teroris yang tengah merencanakan makar untuk menggulingkan pemerintahan Belanda. Dalam pengadilannya, Agustus 1930, Soekarno menyampaikan pembelaannya (Pledoi) yang amat terkenal berjudul “Indonesia Menggugat”.
Pokok dari pledoi Soekarno adalah membongkar habis-habisan Anggaran Pembelian dan Belanja pemerintahan kolonial Belanda yang dikecamnya sangat pro investor asing dan kian memiskinkan rakyat. Soekarno dibebaskan pada 31 Desember 1931.
Pada Agustus 1933, Soekarno ditangkap untuk kedua kalinya, kemudian dibuang ke Ende, Flores. Di sinilah periode kehidupan Soekarno yang sarat persinggungannya dengan Islam. Di Ende, Soekarno melahap banyak buku-buku keislaman dan banyak berdiskusi dengan tokoh-tokoh setempat maupun surat-menyurat dengan sejumlah tokoh Islam nasional seperti HM. Natsir. Pemikiran Soekarno tambah terasah dengan Islam dan kian meneguhkan pandangan Soekarno jika Islam sangat anti terhadap kapitalisme karena sifat penindasan dan penghisapannya.
Dari Ende, Soekarno diasingkan ke Bengkulu, 1938. Di Bengkulu ini Soekarno kembali berjumpa dengan tokoh-tokoh Islam setempat dan berdiskusi dengan mereka. Salah satu tokoh Muhammadiyah di Bengkulu yang sering diajak berdiskusi mengenai Islam adalah H. Hasan, ayah dari Siti Fatimah, yang kemudian anaknya diperisteri Soekarno dan berganti nama menjadi Fatmawati. Saat itu, Inggit Ganarsih yang telah diperisteri Soekarno ketika di Bandung menolak untuk dimadu dan akhirnya cerai.
Pada tahun 1942 Soekarno kembali ke Pulau Jawa dan disambut rakyat sebagai pemimpin pergerakan nasional Indonesia. Di zaman pendudukan Jepang, Soekarno dengan dukungan dari para pemimpin Islam seperti H. Agus Salim dan tokoh nasionalis Jawa seperti Ki Hadjar Dewantara, memilih bersimbiosis-mutualisme dengan Jepang. Pilihan ini pilihan sangat sulit. Namun kondisi riil politik internasional, dimana Fasisme Jepang (dibantu oleh Fasisme Italia dan Nazi Jerman) tengah berperang melawan Imperialisme Sekutu (termasuk Belanda) dalam Perang Dunia II, menyebabkan Soekarno mengambil langkah ini. Sikap kooperatif Soekarno terhadap Jepang menimbulkan antipati banyak kalangan. Sutan Syahrir yang lebih dekat dengan Amerika Serikat menuding Bung Karno sebagai Kolaborator Jepang.
Sejak pertama kali penjajah kolonial mendarat di Nusantara, umat Islam telah melakukan perlawanan dengan gagah berani guna mengusir imperialis Barat tersebut yang datang dengan tiga misi: Merampok kekayaan negeri kaya raya ini (Golden), Memperluas imperium mereka (Glorious), dan Menyebarkan salib (Gospel). Islam-lah agama perlawanan menentang kezaliman Salib Barat. Sebab itu, adalah fakta sejarah bahwa umat Islam-lah yang berada di garda terdepan dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Namun realita sejarah ini berusaha untuk digelapkan oleh kaum sekular dan kaum kufar sejak dulu hingga sekarang.
“Tonggak pertama pengkhianatan yang dilakukan elit negara, dalam hal ini Soekarno Hatta dan tokoh-tokoh sekuler lainnya terhadap umat Islam terjadi pada hari Kamis malam, 16 Agustus 1945,” ujar (alm) KH. Firdaus AN kepada Eramuslim di tahun 1999 saat bertemu di kediaman beliau di daerah Pejompongan, Jakarta Pusat.
Tokoh Persatuan Pelajar Islam Indonesia (PII), Abdul Qadir Djaelani, dalam bukunya “Peta Sejarah Perjuangan Politik Umat Islam di Indonesia” (1996) juga menceritakan hal ini. Seperti yang telah diketahui bersama, rakyat Indonesia sekarang hanya mengetahui jika teks proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945, yang dibacakan Soekarno itu hanya berupa naskah singkat. Padahal, seperti diakui oleh Mohammad Hatta dalam memoirnya, sesuai rencana yang disepakati dalam rapat PPKI, seharusnya pernyataan yang dibacakan pada saat proklamasi itu adalah naskah Piagam Jakarta yang dibuat pada 22 Juni 1945. Namun pada malam 16 Agustus 1945, di rumah Laksamana Maeda jalan Imam Bonjol No 1 (dahulu Myako Dori), Soekarno, Hatta, bersama-sama dengan Subardjo, Soekarni dan Sayuti Melik menggelar rapat dadakan dan menulis teks ringkas proklamasi kemerdekaan yang akan dibacakan keesokan paginya.
Mengapa bukan Piagam Jakarta yang dibacakan sebagai teks proklamasi? Alasannya sangat naif. Bung Hatta di dalam Memoirnya menulis, “(Malam itu) Tidak seorang di antara kami yang membawa dalam sakunya teks proklamasi, yang dibuat pada 22 Juni 1945, yang sekarang disebut Piagam Jakarta.” Malam itu, lanjut Hatta, seluruh anggota PPKI, pemimpin-pemimpin pemuda, beberapa orang pemimpin pergerakan, dan para anggota Cuo Sangi In telah hadir di rumah Maeda. “Semuanya ada kira-kira 40 atau 50 orang-orang terkemuka. Di jalan banyak pemuda yang menonton atau menunggu hasil pembicaraan.”
Seperti pengakuan Hatta, begitu banyak tokoh yang hadir. Namun terlalu naif jika tidak ada seorang pun yang mengantungi naskah Piagam Jakarta untuk dibacakan sebagai teks proklamasi, sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Jika hal ini benar, walau tidak masuk akal, bukankah proklamasi baru akan dilakukan esok harinya? Berarti, jika memang “tidak ada apa-apanya” maka sebenarnya sangatlah mudah untuk mengambil kembali naskah Piagam Jakarta yang ada di rumah Soekarno atau rumah Hatta yang dekat letaknya dengan kediaman Maeda.
Jika pun proklamasi harus dilakukan malam itu, maka rumah Hatta yang letaknya cuma satu kilometer dari rumah Maeda pun bisa dijangkau. Bermobil ke rumah Hatta tidak sampai memakan waktu lima menit. Jika mereka semua memang punya niat baik dan berpegang pada kesepakatan awal, maka mengambil Piagam Jakarta untuk dibacakan sebagai teks proklamasi adalah hal yang sangat mudah.
Abdul Qadir Djaelani menyatakan jika Piagam Jakarta sesungguhnya sengaja disingkirkan dalam peristiwa malam itu. Biang keladinya menurut Kang Jel—demikian sapaan akrab Abdul Qadir Djaelani, adalah kaum Nasionalis Sekuler, termasuk Soekarno-Hatta di dalamnya. “Alasannya sangat strategis. Sebab jika Piagam Jakarta dijadikan teks proklamasi, sesuai keputusan pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, maka secara historis yuridis negara Indonesia merdeka terikat dengan Piagam Jakarta,” tulis Kang Jel.
Sejarah telah mencatat, teks proklamasi yang dibacakan ternyata naskah yang ditulis terburu-buru, dan tanpa persiapan. Keesokan harinya, Sabtu, 18 Agustus 1945, sebuah konspirasi yang juga aneh malah menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Dalam tempo 24 jam, Soekarno-Hatta telah melakukan dua kali “tusukan” pada umat Islam. Dua tragedi yang menyakitkan tokoh-tokoh Islam dan juga umat Islam secara keseluruhan.
“Tusukan ketiga” yang dilakukan Soekarno adalah terhadap Muslim Aceh. Dari seluruh daerah di Nusantara, perlawanan Muslim Aceh merupakan perlawanan terhebat dan terdahsyat yang pernah dihadapi kolonialis Belanda saat hendak menguasai seluruh wilayah Nusantara. Nanggroe Aceh Darussalam adalah Kerajaan Islam Besar yang telah berdaulat berabad-abad sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Bahkan wilayah ini bersama dengan kerajaan-kerajaan Islam di Jazirah Al-Mulk (Maluku) masuk di dalam wilayah perlindungan Kekhalifahan Islam Turki Utsmaniyah. Berabad-abad sebelum UUD 1945 lahir, Aceh telah memiliki Qanun Meukuta Alam, sebuah konstitusi yang sangat lengkap sehingga kerajaan-kerajaan Islam tetangga pun mengcopy-pastenya seperti yang dilakukan Kerajaan Islam Brunei Darussalam. Qanun Meukuta alam ini sangat lengkap dan detil, jauh lengkap ketimbang UUD 1945 bahkan yang sudah “dibongkar” (amandemen) seperti sekarang ini.
Jasa rakyat Aceh terhadap negeri ini sungguh amat besar. Ketika pemerintah pusat di Yogya ditangkap Belanda dalam perang mempertahankan kemerdekaan, dibentuklah PDRI (Pemerintahan Darurat RI) yang berpusat di Bukittingi, Sumatera Barat. Yang tidak diketahui khalayak banyak, semua pengeluaran dan dana operasionil PDRI ini dibiayai oleh rakyat Aceh.
Dari dana operasionil Staf Angkatan Laut, dan Staf Angkatan Udara, misi diplomasi Dr. Soedarsono ke India dan L. N. Palar di markas besar PBB di New York, AS, dana operasional perwakilan RI di Penang dan Singapura, ongkos pengeluaran duta keliling RI Haji Agus Salim dan biaya konferensi Asia di New Delhi, India, seluruhnya juga ditanggung oleh rakyat Aceh.
Semua itu dilakukan rakyat Aceh dengan ikhlas karena tahu bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan termasuk amalan jihad fisabililah yang sangat tinggi nilai pahalanya.
Belum cukup dengan segala pengorbanan itu semua, rakyat Aceh juga dengan ikhlas membeli dua buah pesawat terbang untuk dihibahkan kepada pemerintah pusat. Pembelian pesawat ini memakai mata uang dollar yang diperoleh dari hasil sumbangan rakyat Aceh.
Para perempuan Aceh melepas cincin, kalung, anting, dan segala perhiasan emas peraknya yang kemudian dikumpulkan untuk ditukar dengan uang. Uang itulah yang digunakan untuk membeli pesawat yang diberi nama Seulawah yang berarti “Gunung Emas”.
Latar belakang pembelian dua pesawat ini sungguh-sungguh mengharukan: Bulan Juni 1948, Soekarno berkunjung ke Aceh. Dalam suatu pertemuan di Hotel Aceh, 16 Juni 1948, Bung Karno berkata, “Alangkah baiknya jika Indonesia mempunyai kapal udara untuk memperkuat pertahanan negara dan mempererat hubungan antara pulau dan pulau.” Hanya dalam hitungan jam setelah Bung Karno menyatakan hal itu, pengusaha-pengusaha Aceh yang tergabung dalam Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida) menggelar pertemuan khusus. Mereka sepakat rakyat Aceh akan bersatu mengumpulkan uang dan segala perhiasan emas perak untuk membeli pesawat.
Dalam waktu dua hari terkumpul dana sekitar 130.000 Straits Dollar (Dollar Singapura). Ketua Gasida, Muhammad Juned Yusuf, beserta beberapa anggota Panitia Dana Dakota pada tanggal 1 Agustus 1948 segera berangkat ke Singapura dengan membawa dana tersebut dan emas seberat dua kilogram.
Semua itu diserahkan kepada Ketua Komisi Pembelian Pesawat Opsir Udara II Wiweko. Setelah memakan waktu sekitar tiga bulan, sebuah pesawat Dakota tiba ke tanah air pada Oktober 1948. Pesawat tersebut diberi nomor registrasi RI-001 sebagai nomor pesawat khusus VIP. Inilah yang kemudian diberi nama Seulawah alias Gunung Emas. Sedang pesawat yang satunya tidak diketahui apa dan bagaimana keberadaannya hingga kini.
Bulan November 1948, Bung Hatta berkeliling Sumatera setelah melalui Magelang, Yogyakarta, Jambi, Payakumbuh, dan Banda Aceh, lalu pulang kembali ke Yogya. Setelah melakukan penerbangan selama 50 jam terbang, maka pada 6 Desember 1948 Seulawah diterbangkan ke Calcuta, India, untuk menjalani pemeriksaan dan perawatan.
Tanggal 20 Januari 1949, Seulawah selesai dirawat. Namun karena situasi di tanah air tidak memungkinkan, maka atas seizin pemerintah Burma, Seulawah diizinkan mendarat di Rangoon dan di negeri ini Seulawah melayani penerbangan sipil lebih kurang satu setengah tahun lamanya untuk menghimpun dana perjuangan bagi Republik Indonesia. Pada 2 Agustus 1950 Seulawah tiba kembali ke tanah air melewati rute Rangoon, Bangkok, Medan, dan mendarat di Bandung sehari setelahnya. Seulawah inilah cikal bakal perusahaan penerbangan niaga Indonesia pertama yang kemudian menjelma menjadi Garuda Indonesian Airways.
Saat Yogyakarta dikembalikan kepada republik, pemerintah RI sama sekali tidak punya uang untuk menggerakkan roda pemerintahannya. Dari Aceh, lagi-lagi, rakyatnya menggalang dana yang segera dialirkan ke Yogyakarta. Berbagai sumbangan berupa uang, alat tulis, alat-alat kantor seperti mesin tik dan sebagainya, serta obat-obatan, mengalir dari Aceh ke Yogya.
Bahkan rakyat Aceh kala itu menyumbangkan emas batangan seberat 5 kilogram kepada pemerintah pusat. Yang terakhir ini pun menguap entah kemana. Rakyat Aceh juga sangat prihatin dengan kondisi kesehatan Panglima Besar Jenderal Sudirman yang dikenal sebagai panglima yang sholih dan taat agama, sebab itu dari Aceh dikirimkan 40 botol obat suntik streptomisin guna mengobati penyakit paru-paru beliau.
Inilah wujud nasionalisme rakyat Aceh yang sangat tinggi dalam mempertahankan keberadaan Republik Indonesia yang kala itu masih berusia sangat muda dan sangat lemah. Tidak berlebihan kiranya, tanpa solidaritas Muslim Aceh, pemerintah Republik Indonesia akan sangat sulit mempertahankan dirinya, bahkan tidak mungkin akan lenyap ditelan keganasan Belanda.
Bung Karno pun saat itu menjuluki Aceh sebagai daerah modal bagi perjuangan Republik Indonesia. Bahkan dalam kunjungan pertamanya ke Aceh tahun 1948, kepada tokoh Aceh Teungku Muhammad Daud Beureueh, Bung Karno berjanji akan mendukung penerapan syariat Islam di seluruh wilayah Aceh. Sesuatu yang tidak lama kemudian dikhianati Bung Karno sendiri.
Pengorbanan seluruh rakyat Aceh kepada Republik Indonesia sangatlah besar dan vital. Aceh sungguh-sungguh menjadi daerah modal, menjadi semacam gudang uang bagi pemerintahan pusat dalam menjalankan roda pemerintahannya dan mempertahankan diri dari gempuran Belanda.
Nasionalisme rakyat Aceh sangat tinggi. Jasa rakyat Aceh bagi Republik Indonesia tak ternilai harganya. Tapi bagaimana balasan dari pemerintahan pusat kepada rakyat Aceh ketika Republik Indonesia sudah tegak berdiri di bawah pemerintah Presiden Soekarno?

Jauh sebelum NKRI berdiri, Nanggroe Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah kerajaan merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah.
Hal ini sungguh-sungguh disadari Soekarno sehingga dia mengajak dan membujuk Muslim Aceh untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah Belanda.
Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan “Kakak” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah:
Presiden Soekarno : “Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”
Daud Beureueh : “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid.”
Presiden Soekarno : “Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku Cik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid.”
Daud Beureueh : “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syariat Islam di dalam daerahnya.”
Presiden Soekarno : “Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam.”
Daud Beureueh : “Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden.”
Presiden Soekarno : “Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan Kakak itu.”
Daud Beureueh : “Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon (sambil menyodorkan secarik kertas kepada presiden) sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini.”
Mendengar ucapan Daud Beureueh itu Bung Karno langsung menangis terisak-isak. Airmata yang mengalir telah membasahi bajunya. Dalam keadaan sesenggukan, Soekarno berkata, “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden. Apa gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya.” Dengan tetap tenang, Daud Beureueh menjawab, “Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang.”
Sambil menyeka airmatanya, Bung Karno berjanji, “Wallah, Billah, kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam. Dan Wallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?” Daud Beureueh menjawab, “Saya tidak ragu Saudara Presiden. Sekali lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Saudara Presiden.”
Dalam suatu wawancara yang dilakukan M. Nur El Ibrahimy dengan Daud Beureueh, Daud Beureueh menyatakan bahwa melihat Bung Karno menangis terisak-isak, dirinya tidak sampai hati lagi untuk bersikeras meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji presiden itu.
Soekarno mengucapkan janji tersebut pada tahun 1948. Setahun kemudian Aceh bersedia dijadikan satu provinsi sebagai bagian dari NKRI. Namun pada tahun 1951, belum kering bibir mengucap, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara.
Jelas, ini menimbulkan sakit hati rakyat Aceh. Aceh yang porak-poranda setelah berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang, lalu menguras dan menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan keberadaan Republik Indonesia tanpa pamrih, oleh pemerintah pusat bukannya dibangun dan ditata kembali malah dibiarkan terbengkalai.
Bukan itu saja, hak untuk mengurus diri sendiri pun akhirnya dicabut. Rumah-rumah rakyat, dayah-dayah, meunasah-meunasah, dan sebagainya yang hancur karena peperangan melawan penjajah dibiarkan porak-poranda. Bung Karno telah menjilat ludahnya sendiri dan mengkhianati janji yang telah diucapkannya atas nama Allah. Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai kesalahan yang tidak termaafkan.
Pengkhianatan Soekarno terhadap Muslim Aceh merupakan awal dari rentetan pengkhianatan—jika tidak mau dikatakan sebagai konspirasi—yang dilakukan negara terhadap Aceh dan rakyatnya, juga terhadap tokoh-tokoh Islam setelahnya.
Sejarah telah mencatat bagaimana rezim Soekarno juga telah melakukan penindasan terhadap umat Islam, terutama di tahun 1959-1965, di saat Soekarno bersedia dijadikan presiden seumur hidup dan demokrasi terpimpin.
Salah satunya adalah pembubaran Partai Masyumi dan penahanan tokoh-tokohnya. M. Natsir ditahan pada tahun 1961 dan 1966, juga Boerhanoeddin Harahap yang berada dalam tahanan dari tahun 1961 hingga 1967, Prawoto Mangkusasmito, Mohammad Roem, M.Yunan Nasution, E.Z. Muttaqin dan KH Isa Anshary, ditahan pula di Madiun pada tahun 1962. Ghazali Sjahlan, Jusuf Wibisono, Mr. dan Kasman Singodimejo di tahan di Sukabumi.
Demikian pula yang menimpa Soemarso Soemarsono, A. Mukti, Djanamar Adjam, KH.M. Syaaf dan lainnya. Mereka adalah tokoh-tokoh Masyumi. Selain ditangkap dan ditahan tanpa proses pengadilan yang benar, siksaan juga ditimpakan pada mereka.
Salah satu contoh, ini dipaparkan Ridwan Saidi, jika rezim Soekarno menyiksa Ustadz Ghazali Sjahlan hingga dia hanya diberi “makanan” berupa tetesan air pisang busuk selama di penjara.
Kita sudah membahas tentang Soekarno dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Lantas, bagaimana kesesuaiannya dengan Megawati Soekarnoputeri?
Benarkah Megawati sungguh-sungguh mengikuti "garis Soekarno", seperti yang diklaimnya selama ini? Di bawah ini terdapat beberapa fakta yang menegasikannya:
Soekarno adalah orang yang anti kapitalisme dan kolonialisme. Soekarno sangat menjunjung tinggi kedaulatan, harga diri, dan martabat negara. Dia berani berkata "Go to Hell" kepada AS dengan Bank Dunia dan IMF-nya. Bahkan mengancam akan menasionalisasikan sejumlah perusahaan asing jika tidak mau tunduk pada kontrak karya yang adil. Bagaimana dengan Megawati saat dia menjadi Presiden RI?
Bertolak-belakang dengan Soekarno. Megawati malah sangat tunduk pada kekuatan imperialisme dan kolonialisme Barat. Tim ekonominya terdiri dari "orang-orang IMF dan Bank Dunia", sama sebangun dengan yang dilakukan SBY-JK sejak tahun 2004 hingga sekarang.
Pemerintahan di bawah Megawati menerbitkan UU No.19/2003 tentang BUMN yang sangat pro liberalisme dan imperialisme. Salah satu agenda utama kubu imperialisme dan kolonialisme dunia seperti AS, IMF, dan Bank Dunia, adalah privatisasi BUMN. Dan Megawati dengan UU No.19/2003-nya telah memberikan landasan legal-formal yang sangat lengkap bagi upaya-upaya privatisasi BUMN ini.
Amien Rais menggambarkan jika upaya privatisasi yang dilakukan selama ini bisa diibaratkan dengan tindakan petani dengan menjual sawahnya karena terlilit hutang. Akibatnya si petani kian miskin dan kehilangan harga diri karena kehilangan modal utamanya.
Lagi pula, "Karena menjual dalam kondisi kepepet, seringkali harganya pun sangat murah, dan tidak jarang dibeli oleh rentenir. Hal yang sama terjadi pada BUMN yang diprivatisasi karena untuk menutup defisit, di mana rentenirnya adalah investor, kreditor, dan pelaku keuangan asing." (M. Amien Rais; Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia!; 2008)
Dalam masa kekuasaan Megawati inilah, banyak aset bangsa yang sesungguhnya menguntungkan malah digadaikan ke pihak asing, seperti yang terjadi pada penjualan Indosat, dan sebagainya. Siapa saja yang ingi mengetahui tentang kasus Indosat bisa membacanya dalam buku "Divestasi Indosat: Kebusukan Sebuah Rezim, sebuah catatan publik Actio-Notaris" (Marwan Batubara; Iluni Jakarta).
Selain itu, kasus penjualan obral besar-besaran LNG Tangguh ke Cina juga telah merugikan negara ratusan triliun rupiah. Kasus ini terjadi di masa Megawati. Tim negosiasi Tangguh dipimpin Taufik Kiemas, suami Megawati. Kontrak LNG Tangguh disetujui pemerintah Megawati pada 2002.
Saat itu pemerintah setuju dengan tawaran kontrak seharga 2,4 dolar AS per mmbtu dan merupakan nilai kontrak terendah sedunia. Parahnya, harga itu ditetapkan tetap atau flat selama 25 tahun! Sedangkan saat ini harga LNG dipasaran international berkisar 20 dolar AS per mmbtu. Negara jelas merugi ratusan triliun akibat ulah rezim Mega dari kasus LNG tangguh saja, belum yang lain.
Selain kasus Indosat dan penjualan aset negara lainnya, juga kasus LNG Tangguh, rezim Megawati juga telah mencederai perasaan keadilan bangsa ini dengan mengeluarkan kebijakan Release & Dischard yang membebasan para konglomerat perampok uang negara dalam kasus BLBI.
Amien Rais menulis, "Pada era Megawati ada korupsi yang bersifat state-capture atau state-hijack dalam bentuk pemberian R&D... dilihat dari sisi lain, R&D , sebuah penyelesaian di luar hukum itu, hakikatnya merupakan penyanderaan lembaga-lembaga pemerintahan oleh sejumlah konglomerat bermasalah." (h.191)
Kebijakan R&D ini merugikan negara triliunan rupiah. Amien mencontohkan, "Group Salim mempunyai utang sebesar 52 triliun rupiah, kemudian menyerahkan set yang dinilai oleh penilai aset seharga sekitar 50 triliun rupiah. (Padahal) Nilai sesungguhnya aset it hanya 29,5 triliun rupiah sehingga mengalami marked-up secara kelewatan. Dengan proses simlabim, Group Salim dihadiahi R&D. Bayangkan, 'tengkuk' negara dpegang leh para konglomerat bermasalah untuk melindungi korupsi mereka." (h.191)
Di negara lain, kasus R&D ini sangat bisa menjadi kasus hukum dengan diseretnya para pejabat negara—termasuk presiden dan menteri terkait—ke depan pengadilan. Namun di Indonesia hal itu teramat sulit, bahkan mungkin mustahil, karena Gedung Bank Indonesia yang menyimpan dokumen-dokumen skandal BLBI dan R&D telah "terbakar" (baca: dibakar) oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan.
Selain kejahatan tersebut, di masa kepemimpinannya ini kasus korupsi naik dengan tajam, mewarisi tradisi korup rezim Suharto. Kasus-kasus kemanusiaan seperti kasus pembantaian umat Islam Maluku dan telantarnya ribuan TKW di Nunukan-Kalimantan, tidak mendapat perhatian pemerintah. Umat Islam di masa rezim ini menjadi pesakitan setelah meledaknya Bom Bali.
Terkait dengan Islam, sosok Megawati juga diketahui telah bersembahyang di salah satu Pura di Bali, mengikuti cara sembahyang orang Hindu. Hal ini terekam oleh banyak kamera di saat Megawati tengah mempersiapkan pencalonannya sebagai presiden yang akhirnya kalah oleh Abdurrahman Wahid.
Banyak fakta telah memperlihatkan jika kebijakan Megawati sangat beda, bahkan bertentangan, dengan Soekarno. Kebijakan yang diambilnya ternyata lebih dekat kepada kebijakan Suharto yang pro Imperialisme (Kapitalisme Internasional), bukan pro rakyat, walau mungkin dalam pidato sering mengklaim sebagai pembela "wong Cilik".
Dan yang harus juga diberi catatan penting, bahwa rezim-rezim yang bermunculan dari masa rezim fasis Suharto sampai ke rezim SBY-JK sekarang ini, pemerintah masih saja menjadi pelayan yang baik bagi kepentingan Imperialis Barat dengan mengorbankan kepentingan rakyat banyak.
Sebab itu, semoga rakyat kian sadar jika negeri ini memerlukan kepemimpinan yang baru, bukan orang-orang lama yang terbukti gagal membawa bangsa ini keluar dari krisis, atau orang-orang baru yang plintat-plintut tidak punya prinsip dalam memperjuangan Islam. Mereka semua tidak dibutuhkan oleh bangsa dan negara ini. (tamat/rd)

trisnoyuwono

 Kamis, 31 Oktober 1996
   ______________________________________________________________________
                                      
   In Memoriam Trisnoyuwono
   "Aku Ingin Menulis Novel Lagi"
   
   [INLINE] ALMARHUM Trisnoyuwono di belakang meja kerjanya di bagian
   penerbitan PT Granesia, tahun 1986. Orang yang "tahu" Mas Tris akan
   sepakat, almarhum itu orang yang bersemangat dan tidak suka
   kepura-puraan.* (DOKUMENTASI/"PR")
   ______________________________________________________________________
                                      
   SEBUAH ruangan di rumahnya yang sederhana penuh dengan buku dan
   lembaran-lembaran kertas. Ada satu dua cerita pendek yang tak selesai.
   Mungkin inilah bukti kata-katanya bahwa ia ingin menulis novel lagi."
   Gua ingin menulis lagi," ujarnya setiap kali kami berjumpa.
   
   Haru ini tak tertahankan manakala menampak sosok Trisnoyuwono terbujur
   kaku di ruangan depan. Telah pergi penulis yang selalu ingin nampak
   tegar ini. Baginya tak ada kata-kata "menyerah", api semangat selalu
   membara dalam dadanya.
   
   Sikap tak ingin dikasihani dan ingin selalu tampak tegar, pernah
   tersirat suatu hari. Kala itu saya bertemu di ruangan kantor Granesia
   Jl Soekarno-Hatta. Saya terharu mendengar beliau dinyatakan menderita
   diabetes dan sudah harus membatasi makan. Ketika rasa haru dan peduli
   pada dirinya saya utarakan, almarhum malah tertawa. "Kenapa kalau gua
   sakit? Lu tak usah ikut sedih, namanya manusia kan harus sakit. Lu
   udah beli buku baru?" ujarnya mengalihkan obrolan. Saat itu Mas Tris
   (begitu saya memanggilnya) mengatakan bahwa sebuah ide untuk novel
   sudah diutarakannya. Almarhum juga mengatakan rencananya akan terjun
   di satu acara. Padahal tubuhnya sudah kurus sekali, dan matanya sudah
   tampak kuyu. Saya menatap suap demi suap dengan trenyuh.
   
   "Lu mau ?" katanya.
   
   "Apaan, makanan sedikit gitu ditawar-tawarkan?"
   
   "Naaah gitu doong, itu baru temen gua. Lu nggak usah ngomong sedih,
   nggak pantes," katanya pula.
   
   Saya kembali terlibat obrolan biasa, tentang buku dan perkembangan
   sastra. Katanya tadi malam almarhum merenungi sebuah sajak Kahlil
   Gibran yang judulnya "The Voice of The Master". Kemudian katanya pula
   setelah itu keinginan untuk menulis novel semakin menggebu. Saya tidak
   memberi tanggapan, terus mengikuti makannya yang perlahan. Hanya hati
   yang semakin yakin bahwa Mas Tris sedang terayun dalam jiwa yang
   rapuh.
   
   Mungkin bagi mereka yang pernah membaca karyanya akan sepakat bahwa
   Trisnoyuwono adalah orang yang bersemangat. Misalnya karya karyanya
   yang terkumpul dalam "Laki-laki dan Mesiu " yang diterjemahkan dalam
   bahasa Sunda oleh almarhum Mien Resmana, ("Lalaki jeung Jajatenna").
   
   Dalam salah satu cerpennya yang dimuat majalah Roman (1956) berjudul
   "Ratnawati", gaya bahasa Trisno yang elastis tampak sekali. Bahasa
   yang digunakannya selalu bahasa ceria yang mengalir, enak dibaca.
   Cerpen- cerpennya yang pernah saya baca, umumnya disuguhkan dengan
   gaya menarik, kendati sebenarnya isinya cukup dalam dan sindirannya
   yang halus.
   
   Almarhum mulai dikenal sebagai pengarang Indonesia di akhir tahun
   50-an, seangkatan dengan Ayip Rosidi, SM Ardan, Sukanto.SA, Syuman
   Djaya, dll. Sebagai pengarang, almarhum sudah sering mendapat
   penghargaan. Antara lain, cerpennya berjudul "Tinggul" yang kemudian
   dibukukan dalam "Laki-laki dan Mesiu " mendapat hadiah I dari Majalah
   Sastra "Kisah". Kemudian kumpulan cerpen "Laki-laki dan Mesiu" juga
   mendapat penghargaan I dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional
   (l960), serta buku "Pagar Kawat Berduri" mendapat hadiah III dari
   Yayasan Yamin (l964). Namun setelah almarhum berangkat tua, buah
   pikirannya banyak yang tersimpan dalam batinnya, tidak mampu ia
   tuliskan. Pernah sekali almarhum meminta sebuah pengalamannya saya
   tulis. Saat itu saya mencoba menolak dengan alasan mungkin akan beda
   penuturannya bila saya yang menyuguhkannya. Saya malu karena saya
   masih merasa belajar. Seperti biasa almarhum memberi semangat dengan
   cara lain.
   
   "Sombong amat, lu, gua mintai tolong segitu saja."
   
   Saya tak kuasa menolak. Lalu beliau berbicara panjang, saya catat dan
   saya mencoba menyuguhkannya di "PR" Minggu. Saya merasa bangga waktu
   beliau memuji tulisan itu. Meskipun caranya memuji hanya tersirat dari
   kalimatnya yang sederhana.
   
   "Lu kan cuma sombong aja, sebenernya bisa, kan," katanya.
   
   Lain dengan tulisannya, yang selalu menyembunyikan kritiknya dengan
   halus, dalam cara bercerita yang segar, dalam kesehariannya almarhum
   selalu berbicara blak-blakan. Dari caranya ber-"elu dan ber-"gua" pada
   siapa saja yang ia akrabi, tampak bahwa Mas Tris tak pernah membedakan
   usia dan kedudukan seseorang. Asal ia merasa cocok, ia langsung akrab.
   Mas Tris tidak suka kepura-puraan. Kadang tampaknya ia tak peduli bila
   yang dikritiknya akan sakit hati. Itu hanya tampak di permukaan,
   karena sebenarnya almarhum tidak beritikad untuk menyakiti orang lain.
   Ia hanya suka seadanya.
   
   Seperti misalnya suatu ketika almarhum menitipkan kado pernikahan
   untuk anak saya. Kado itu diberikannya seadanya, masih lengkap dengan
   harganya, langsung dari toko. Saya agak kagok juga menerimanya. Dalam
   hati saya berbicara, bagaimana kalau anak menantu saya mengira sudah
   saya buka lebih dulu.
   
   "Ya sudah kasihkan, kenapa diam? Biar gua bungkus, nantinya kan akan
   dibuka juga," katanya. Benar juga, pikir saya.
   
   Lama saya tak pernah berjumpa, karena kantor tempat saya bekerja tidak
   lagi berdekatan. Namun pernah sekali almarhum menelpon, hanya
   menanyakan kesehatan saya.
   
   Mungkin pertemuan terakhir, kira-kira sebulan lalu. Saya mendengar
   bahwa almarhum sudah sangat lemah. Bersama beberapa karyawan dan
   karyawati "PR" saya menengok almarhum. Saya duduk di dekatnya dan saya
   bisikkan apakah Mas Tris masih ingat saya.
   
   " Ah, ini kan Aam," katanya. Seperti biasa, almarhum tak pernah
   memperlihatkan penderitaan. Dengan gaya khasnya, almarhum minta
   disuapi bubur tahu. Seorang-seorang disebut namanya, dan beliau memang
   masih ingat pada semuanya.
   
   Namun pada saat itu, beliau dengan lemah berkata.
   
   "Mas ingin menulis novel lagi, Am," ujarnya.
   
   Saya sembunyikan muka saya, agar tak tampak sedih. Ada sesuatu yang
   merasuk dalam kalbu yang terdalam, saat ia tidak lagi ber-"elu"dan
   ber-"gua" seperti biasanya. Dan benarlah, kabar kepergiannya saya
   terima pagi hari kemarin. Sosok yang selalu berusaha tegar itu telah
   dipanggil keharibaan-Nya. Inna lilaahi wa inna Illaihi Roji'un.
   Selamat jalan Mas Tris.(aam amilia)***

Kamis, 27 Januari 2011

Abu Musa al-Asy’ari | 2LiSan.Com

Abu Musa al-Asy’ari | 2LiSan.Com

Kisah Nabi Musa as dan Nabi Harun as | 2LiSan.Com

Kisah Nabi Musa as dan Nabi Harun as | 2LiSan.Com

Jumat, 21 Januari 2011

Teknisi Laptop Indonesia.COm: Teknologi dual Core

Teknisi Laptop Indonesia.COm: Teknologi dual Core: "Pendapat tentang procesorTeknologi procesor sudah memanfaatkan multi core, sebuah chip memiliki 2 core atau lebih sudah banyak dibuat. Memil..."

Teknisi Laptop Indonesia.COm: Teknologi Monitor

Teknisi Laptop Indonesia.COm: Teknologi Monitor: "Ada empat macam teknologi monitor plat panel yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan yaitu:1. &nbs..."

Teknisi Laptop Indonesia.COm: Rahasia Catridge Printer Awet dan Tahan Lama

Teknisi Laptop Indonesia.COm: Rahasia Catridge Printer Awet dan Tahan Lama: "Kali ini akan mencoba sharing tentang Tips Agar Catridge Printer Awet dan Tahan Lama. Karena banyak sekali pertanyaan tentang 'kenapa catrdi..."

Teknisi Laptop Indonesia.COm: Install WinXP di HD SATA (Misal :Laptop Acer)

Teknisi Laptop Indonesia.COm: Install WinXP di HD SATA (Misal :Laptop Acer): "Jika komputer (pc/laptop) anda menggunakan harddisk type SATA dan memilih untuk menginstal Operating System Windows XP, kemungkinan pada saa..."

Teknisi Laptop Indonesia.COm: Bengkel Adaptor - Charger Laptop Rusak

Teknisi Laptop Indonesia.COm: Bengkel Adaptor - Charger Laptop Rusak: "Analisa Kerusakan ADAPTOR atau Charger LaptopHarga baru charger laptop lumayan mahal dan mungkin kamu akan berpikir dua kali untuk membeliny..."

Teknisi Laptop Indonesia.COm: Indikator Kerusakan pada Laptop

Teknisi Laptop Indonesia.COm: Indikator Kerusakan pada Laptop: "Ada beberapa indicator kerusakan pada Laptop yang biasanya kita jumpai. Dengan membuat alur dalam menentukan jenis kerusakan tentukan aka..."

GOENAWAN MOHAMMAD

DARI PENJARA KE PIGURA


Hubungan seni rupa dengan kemerdekaan dimulai dari awal, ketika kuas atau pahat menyentuh bahan. Garis, warna, bidang dan bentuk pun muncul, dan tampak bahwa – terutama dalam seni modern – di sana tak ada satu geometri yang tetap dan pasti. Semua gerak membebaskan diri dari itu. Bahkan juga pada karya Mondriaan: ia menorehkan goresan horisontal dan vertikal dalam kanvas dengan “kesadaran”, katanya, bukan dengan “kalkulasi”.
Warna hampir tanpa batas variasinya, bentuk bisa dalam berjuta-juta beda, dan gerak tangan terkadang memilih arahnya sendiri. Pendeknya, sang perupa bertindak di tengah hal ihwal yang tak sepenuhnya dapat diketahuinya: sebuah situasi di tebing khaos, tapi menjelang ada bentuk. Sang perupa memilih langkah. Makin lama memang makin tampak sebuah sosok. Tapi kita akan tahu, di dasarnya membayang sesuatu yang sengkarut: sesuatu yang tetap tak bisa diutarakan. Besoknya sang perupa pun melukis lagi.
Barangkali penciptaan adalah sebuah “kejadian”.
“Kejadian” — kata ini saya pungut sekenanya dari Alain Badiou — adalah sesuatu yang tak dapat diperhitungkan lebih dulu. Ia mirip loncatan ke dalam gelap. Tapi dengan itu sebuah situasi yang tampak utuh pun terkuak, sebuah kosmos ambrol, dan sesuatu yang baru lahir – seakan-akan ditemukan dan diutarakan buat pertama kalinya dalam hidup.
Berbeda dari yang umumnya dikemukakan para pemikir liberal, kemerdekaan kreatif bukanlah kemerdekaan yang datang dari “aku”, dari subyek, sang perupa. Dalam “kejadian”, bukan subyek yang merupakan asal, melainkan sebaliknya: subyektifitas lahir dari proses “kejadian”. Aku ada karena aku tergugah dan tergerak.
Persoalan ini penting dalam seni rupa modern – atau, dalam tarikh Indonesia, setelah S. Sudjojono. Pelopor ini terkenal merumuskan seni rupa sebagai “jiwa kétok”, atau “jiwa nampak.”
Dalam konteks sejarah Indonesia, itu penegasan satu versi humanisme: “jiwa nampak” adalah manusia atau subyek yang tak bisa dihilangkan dan diringkus. Dengan itulah dimulai pembebasan dari tata politik rust en orde, “ketenangan dan ketertiban” ala Hindia Belanda, ketika manusia dikelompokkan dan dikotak-kotakkan dalam sebuah taksonomi sosial, seakan-akan tak punya jiwa yang masing-masing unik. Setelah itu “zaman Jepang,” yang mereduksikan manusia – dalam hal ini para seniman — jadi instrumen imperialisme “Asia Timur Raya”. Diawasi sensor Kenpeitai dan diharuskan berpropaganda oleh Keimin Bunka Sidhoso, orang terpaksa (mengutip Chairil Anwar) “mendurhaka kepada Kata” – mengingkari Kata yang datang dari dalam jiwa.
Dengan latar itulah Pramoedya Ananta Toer, dalam Di Tepi Kali Bekasi, menyebut revolusi Indonesia sebagai “suatu epos tentang revolusi jiwa — dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka….”.
Kata “jiwa” dalam kalimat Sudjojono dan Pramoedya agaknya mengacu ke pengalaman perjuangan itu: revolusi Indonesia adalah revolusinya orang-orang yang kurus kering, tapi mereka bukan hanya sejumlah tubuh yang kurus kering.
Mereka adalah subyek yang memproduksi dirinya dalam deru dan debu revolusi: menegaskan diri, dengan militan, di antara gemuruhnya sebuah dunia yang retak dan hal ihwal dunia itu yang mau tak mau melekat pada diri mereka.
Revolusi 1945 memang bisa dianalogikan dengan “kejadian” dalam penciptaan seni: subyek yang lahir, “jiwa” yang “tampak,” bukanlah sesuatu yang sudah ada dan terbentuk sebelum “kejadian”.
Sebab itu ada dua soal yang sering timbul dari diktum seni rupa sebagai “jiwa tampak”.
Pertama, bila seni rupa dianggap merepresentasikan sesuatu yang sudah ada, sementara kita lebih akrab dengan ungkapan Paul Klee: seni rupa bukanlah “menampilkan yang terlihat, melainkan membuat terlihat”, not to render the visible, but to render visible. Karya-karya dalam pameran ini, misalnya, tak dimaksudkan untuk membuat bentuk dari naskah tentang kemerdekaan; mereka adalah cetusan kemerdekaan itu sendiri.
Kedua, bila “jiwa” dianggap transparan — sebagaimana anggapan semangat humanisme 1945 — sementara dalam masa pasca-revolusi kita tahu bahwa subyek itu, “jiwa” itu, bukanlah sesuatu yang utuh, jelas, dan final. Tiap kali kita menjebaknya dalam sosok yang bisa diidentifikasikan, kita ingat kata-kata Chairil: dalam diri manusia ada “gedong besar dan gelap tempat jiwa kita yang sejati bersembunyi.”
Dan sebenarnya Chairil hanya separuh benar: memang ada “gedong besar dan gelap”, tapi tak ada “jiwa kita yang sejati”.
Sebab menganggap ada “yang sejati” hanyalah klaim atas sesuatu yang sebenarnya tak dapat diukur, dirumuskan, untuk dinamai. Tiap klaim seperti itu akan jadi sejenis penjara. Maka “jiwa nampak” yang muncul dalam proses kreatif bukanlah sebuah kesatuan, melainkan sebuah proses pembebasan dari kolonialisme yang dipaksakan oleh dunia simbol.
Tentu, proses kreatif datang menerobos, lalu menghilang. Yang ada hanya jejaknya. Katakanlah jejak itu sebuah lukisan dalam pigura. Ia terbatas.
Meskipun demikian, ia melampaui keterbatasan itu, bila ia menghadirkan sesuatu yang membuatnya tak terhingga. Kita kadang-kadang menyebut sesuatu itu “keindahan” — nama lain dari yang tak terduga-duga, yang sebenarnya tak dapat ditunjuk; di tiap karya yang berhasil, selalu terungkap bayangan khaos.
Jika kita bersyukur, gentar, atau terpana, itu karena di sana tampak sesuatu yang tanpa batas – yang sekaligus memerdekakan karya itu bersama kita yang menatapnya



MENCOBA BERPISAH DARI SRI MULYANI

Goenawan Mohamad

MALAM ini kita mencoba berpisah dari Sri Mulyani.
Saya katakan "mencoba". Sebab sering kali, dan terutama malam ini, kita menyadari: orang bisa hanya sebentar mengucapkan "halo", tapi tak pernah bisa cuma sebentar mengucapkan "selamat berpisah".
Mungkin karena kita tak tahu apa sebenarnya arti "berpisah".
Terutama dalam hal Sri Mulyani. Kita mengerti, ia akan pergi ke Washington, DC, untuk sebuah jabatan baru di Bank Dunia; tapi itu tak berarti ia akan berpisah dari kita di Tanah Air. Tentu saja ia akan sibuk di sana, sebagaimana kita akan sibuk di sini. Tapi kita bisa yakin ia akan tak putus-putusnya memikirkan kita—bukan "kita" sebagai teman-temannya, melainkan "kita" sebagai bagian dari "Indonesia". Dan begitu pula sebaliknya: kita tak akan bisa melupakan dia.
Lagi pula, "berpisah" mengandung kesedihan, sementara peristiwa ini tak seluruhnya sebuah kesedihan. Saya melihat Sri Mulyani menerima jabatannya yang baru ini dengan gembira. Mungkin lega. Satu hal yang bisa dimaklumi.
Sebab, sejak Oktober 2009, ia sudah jadi sasaran tembak. Berbulan-bulan ia jadi target dari premanisme politik. Yang saya maksud dengan "premanisme" di sini tak jauh berbeda dengan ke-brutal-an yang kita saksikan di jalan-jalan—sebuah metode yang dipakai oleh sebuah kekuatan untuk menguasai satu posisi.
Metode premanisme itu adalah metode tiga jurus, dalam tiga fase.
Mula-mula gangguan terus-menerus, yang makin lama makin meningkat. Mula-mula ancaman yang membayang dari gangguan itu. Fase berikutnya adalah sebuah tawaran untuk "berdamai" kepada pihak yang diganggu. Dan akhirnya, pada fase yang ketiga, tatkala pihak yang diganggu tak tahan lagi, akan ada imbalan yang dibayarkan agar gangguan itu berhenti. Juga akan ada janji bahwa pihak yang diganggu akan selanjutnya diproteksi.
Sudah tentu, antara sang pengganggu dan sang protektor (yang kadang-kadang bersikap manis dan santun) ada kerja sama. Bahkan bukan mustahil sang protektor itulah yang menggerakkan para pengganggu. Makin sengit gangguannya, makin besar yang dipertaruhkan—dan akan makin besar pula imbalan yang diminta dan didapat.
Bila premanisme di jalanan akan menghasilkan imbalan uang atau protection money, imbalan dalam premanisme politik adalah naiknya posisi kekuasaan.
Demikianlah yang terjadi dengan kasus Bank Century. Imbalan yang harus diserahkan adalah mundurnya Sri Mulyani dari jabatan Menteri Keuangan. Segala cara dipakai, segala daya dibayar. Politikus Senayan tak henti-hentinya membentak dan menggedor-gedor. Melalui media yang dikuasai dengan baik, kampanye anti-Sri Mulyani (dan Boediono) digencarkan. Demonstrasi-demonstrasi yang berisik dan agresif muncul. Sri Mulyani diboikot di sidang DPR, meskipun ia oleh pimpinan DPR diundang dengan resmi sebagai Menteri Keuangan. Boediono dikesankan akan dimakzulkan dari posisinya sebagai wakil presiden.
Akhirnya semua kita tahu: Sri Mulyani dipaksa berubah dari sebuah asset menjadi sebuah liability bagi pemerintahan SBY. Ia tidak bisa bertahan lagi. Ia tidak dipertahankan lagi oleh Presiden, yang barangkali merasa bahwa pemerintahannya akan habis energi karena direcoki terus-menerus.
Akhirnya semua kita tahu, hanya beberapa jam setelah Sri Mulyani dinyatakan turun dari jabatannya, konstelasi politik berubah. Akhirnya semua kita tahu, apa dan siapa yang mendapatkan kekuasaan yang lebih besar setelah itu. Dan akhirnya kita menyaksikan, perecokan dan keberisikan yang berlangsung berbulan-bulan itu dengan segera berhenti. Medan politik sepi kembali. Stabilitas tampak terjamin. Presiden lega.
Saya kira, Sri Mulyani juga lega: kini ia terbebas dari posisi sebagai bulan-bulanan kampanye buruk. Tapi tak kalah penting, ia meninggalkan jabatannya tanpa cacat. Bahkan seperti diucapkannya dalam kuliah umumnya tadi malam, ia merasa menang, dan ia berhasil. Ia merasa menang dan berhasil karena ia tetap "tak bisa didikte" hingga meninggalkan prinsip hidupnya, hati nuraninya, dan kehormatan dirinya.
Dalam hal itu, perpisahan malam ini merupakan pelepasan yang rela dan senang hati untuk seseorang yang kita sayangi dan kagumi.
***
TAPI saya akan berbohong jika mengatakan perpisahan ini bebas dari rasa risau.
Kita risau bukan karena Sri Mulyani turun; kita risau karena merasakan bahwa sebuah harapan telah jadi oleng, terguncang—harapan untuk mempunyai Indonesia yang lebih bersih. Kita risau karena kita jadi ragu, masih mungkinkah tumbuhnya kehidupan politik yang adil dan tak curang di tanah air kita.
Mampukah kita membebaskan diri dari premanisme politik? Bisakah berkurang kekuatan uang di parlemen, hukum, dan media dalam demokrasi kita? Sanggupkah kita membersihkan kehidupan bernegara kita dari jual-beli dukungan, jual-beli kedudukan, jual-beli keputusan—bagian yang paling gawat dalam koreng atau kanker besar yang bernama "korupsi" itu?
Pemerintahan SBY-Boediono punya janji yang seharusnya dianggap suci—yakni membangun sebuah pemerintahan yang bersih, melalui reformasi birokrasi, melalui pemberantasan korupsi. Semula kita punya keyakinan besar, janji itu akan jadi sikap yang teguh, dan sikap itu akan jadi program, dan program itu konsisten dijalankan. Tapi kini saya tak bisa mengatakan bahwa keyakinan itu masih sekuat dulu.
Tentu saja kita masih bisa percaya, pemerintah ini tetap ingin melanjutkan usaha ke arah Indonesia yang bebas dari korupsi; namun persoalannya, masih mampukah dia?
Tak perlu diulangi panjang-lebar lagi, Sri Mulyani dengan berani dan bersungguh-sungguh memulai reformasi birokrasi di tempatnya bekerja. Dalam sejarah Indonesia, mungkin baru Sri Mulyani-lah Menteri Keuangan yang dengan tangguh mencoba membersihkan aparatnya—sebuah langkah awal dari sebuah kerja yang panjang, yang mungkin baru akan selesai satu-dua generasi lagi.
Tapi kini pemerintahan SBY-Boediono telah kehilangan Menteri Keuangan yang tangguh ini.
Tentu saja Sri Mulyani bisa digantikan. Tak seorang pun seharusnya dianggap indispensable. Pengganti Sri Mulyani tidak dengan sendirinya seorang yang lemah.
Tapi beban jadi bertambah berat. Untuk membuat rakyat kembali yakin bahwa pemerintah ini masih ingin membangun sebuah republik yang bersih, Presiden SBY harus melipatgandakan ikhtiar. KPK yang kuat harus didukung dengan jelas, perlawanan terhadap Mafia Pengadilan harus lebih diefektifkan, polisi dan kejaksaan dibersihkan, dan tak kurang penting: legislasi dan regulasi yang tidak kompromistis terhadap kekuatan-kekuatan yang korup.
Tapi mungkinkah hal itu dapat terlaksana sekarang?
Kini politikus Senayan semakin merasa kuat dan semakin angkuh; mereka telah berhasil membuat Presiden berkompromi dan menyudutkan Sri Mulyani hingga jadi beban politik bagi pemerintah.
Pada saat yang sama kita lihat juga bagaimana politikus Senayan—terutama para pencari dan penadah suap—mencoba membuat KPK lemah dan Tim Anti-Mafia Pengadilan tak bergigi. Premanisme politik yang menang memang tidak mudah dijinakkan.
Pada saat yang sama kita pun layak ragu, bisakah kabinet menjalankan kebijakan yang merugikan kepentingan kelompok bisnis tertentu—ketika Aburizal Bakrie, tokoh bisnis, politik, dan penguasa media itu, berada dalam posisi yang sangat kuat di dekat kabinet dan DPR sekaligus.
Di depan kekuatan seperti itu, akan bisa tumbuh kesan kroniisme kembali lagi, seperti di zaman Orde Baru dulu. Di depan kroniisme, parang yang akan membabat korupsi akan tumpul.
Sesuatu yang serius akan terjadi jika pemerintahan SBY-Boediono gagal menjawab rasa keraguan yang saya sebut di atas. Yang akan terjadi adalah hilangnya sebuah momentum—yakni momentum gerakan nasional melawan korupsi. Pada hemat saya, gerakan ini adalah panggilan perjuangan terpenting dalam sejarah Indonesia sekarang.
Sekali momentum itu hilang, susah benar untuk mendapatkannya lagi. Sekali momentum itu hilang, kita akan hidup dengan korupsi yang tak habis-habis.
Tentu, Indonesia tak akan segera runtuh. Bahkan negeri ini akan mungkin berjalan dengan pertumbuhan ekonomi yang lumayan, 6 persen atau 7 persen. Tapi akan ada sesuatu yang mungkin tak bisa diperbaiki lagi—yakni terkikisnya "modal sosial", runtuhnya sikap saling percaya dalam masyarakat.
Sebab yang dirampok oleh para koruptor dari masyarakat bukan cuma uang, tapi juga kepercayaan dan harapan. Korupsi yang kita alami tiap hari akan membuat kita selamanya curiga kepada orang lain yang berhubungan dengan kita dalam bisnis dan politik. Korupsi yang kita alami tiap hari akan membuat kita hidup dengan sinisme—dengan keyakinan bahwa semua orang dapat dibeli.
Sinisme ini racun—dan terkikisnya "modal sosial" akan membuat sebuah negeri setengah lumpuh dan menyerah.
Tapi baiklah. Saya tak ingin membuat acara kita berpisah dari Sri Mulyani ini hanya diisi dengan deretan kecemasan.
Sejarah Indonesia menunjukkan, harapan adalah sesuatu yang sulit, tapi tak pernah padam. Kita memang sering kecewa; kita memang tahu sejak 1945 Indonesia dibangun oleh potongan-potongan optimisme yang pendek. Tapi sejak 1945 pula Indonesia selalu bangkit kembali. Bangsa ini selalu berangkat kerja kembali, mengangkut batu berat cita-cita itu lagi, biarpun berkali-kali tangan patah, tubuh jatuh, dan semangat terguncang.
Sementara itu, makin lama kita makin arif: kita memang tidak akan bisa mencapai apa yang kita cita-citakan secara penuh; tapi kita merasakan bahwa Indonesia adalah sebuah amanah—dan dalam pengertian saya, sebuah amanah adalah tugas takdir dan sejarah. Dengan kata lain, kita tak bisa melepaskan diri dari komitmen kita buat Indonesia. Selama kita ada.
Perpisahan kita dari Sri Mulyani malam ini justru merupakan penegasan komitmen itu. "Jangan berhenti mencintai Indonesia," itulah kata-kata Sri Mulyani kepada jajaran pejabat Kementerian Keuangan yang harus ditinggalkannya, agar melanjutkan reformasi.
Kata-kata itu hidup, karena ia dihidupkan oleh perbuatan dan pengorbanan. Dan kita mendengarkannya. Maka pada titik ini baiklah kita ucapkan: kita akan melanjutkan reformasi itu, Ani. Jika malam ini kita ucapkan "selamat jalan", kita sekaligus juga mengucapkan: "You shall return."

- Pidato pada malam perpisahan dengan Sri Mulyani Indrawati, di Jakarta, 19 Mei 2010

A POEM IN ITS BECOMING…

Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad’s opening speech at the World Poetry Festival, Kuala Lumpur, 17 August 2004

I would like to thank you for having me here, in this extraordinary gathering of poets, and for giving me the honor to begin our conversation.
However, I must confess my nervousness; I know that each time poets get together they become acutely self-conscious of their peculiar trade, especially in today’s world. When words relentlessly multiply, like they do nowadays, the verbal deluge makes us wonder what will happen next to the hidden side of language, which is silence.
I hope you understand my hesitation. From this rostrum I will be speaking about silence, yet I cannot help using so many words.
But could I have chosen a more appropriate subject? We are living in a time when language moves like the horse in the ancient Indian ritual of Ashvamedha. Like the sacrificial horse, it is the powers-that-be who decide that language has to be seen as free as possible to roam. In practice, however, a host of officials follow it and claim whatever territory it enters. At the end of the day, language, like the horse, is slaughtered to enhance the mystic of the throne and the pulpit.
Often times, the state, the religious authorities, and the high priests of the media create a ritual for the dead language, solidified in a single book with a secured meaning and commanding content. Without claiming to be original, I would call it the Book of the Father, meaning any text held up by a prevailing linguistic and social order that imposes its authority on truth and falsity.
At this juncture, language becomes an intimidating presence, (Roland Barthes called it ‘fascist’), and we are left with no other possibility but to perpetuate the ideology of the symbolic order. It is the ideology that generates a false belief that language, with all of its pleasing vowels and compelling consonants, is quite capable of adequately representing everything that happens in the unarticulated life-world. But we know that it is not the case. An Indonesian poet, Toto Sudarto Bachtiar, put it succinctly, “karena kata tak cukup buat berkata,” “since words are not an adequate means with which to speak.”
Yet the ideology of the symbolic order transforms human into a cognitive centre. In no time, an overriding drive for truth prevails. It was such a drive that brought Plato, the ancient Greek philosopher, to launch a polemic against rhetoric and design a Republic without Poets.
The Platonic temper is to belittle the poet’s use of words, insisting that he or she does not speak or write for truth.
Such a frame of mind persists. In fact, it is more pronounced in our time. This is an era shaped by two seemingly contradictory forces, i.e. the compulsion of modernity and the return of the absolute faith that take poetry as a suspect.
‘The poets lie too much,’ says Nietzsche’s Zarathustra. But let me add that Zarathustra, himself a poet, seems to understand that there is a problem with the easy notion of ‘lie,’ as there is a problem with the easy notion of ‘truth’.
We all remember the famous tale by Hans Christian Andersen about an Emperor whose only ambition is to be well dressed. His passion for clothes was such that one day two swindlers succeeded in befooling him, promising him to create an extraordinary outfit for a parade. The dress, so they told the Emperor, was made by material invisible to anybody unfit for his office or anyone unforgivably stupid.
The clothes were, of course, nonexistent. But for fear of being called stupid, everybody, from the Emperor down to the city’s commoners watching the parade, insisted that the royal outfit was truly magnificent. Only a child in the crowd saw what happened, and shouted, ‘The Emperor has nothing on at all!’
On hearing the child’s words, the entire crowd realized how untruthful they had been to each other and to themselves. They decided to yell, ‘The Emperor has nothing on at all!’
His Majesty was, of course, not deaf to the clamor. But Andersen ends his story by describing how the Emperor decided to continue the parade until the scheduled end. Obviously he was determined to show that the crowd failed to grasp ‘the truth.’
As I see it, the Emperor’s last act is to defy the idea that ‘truth’ is what you see. ‘Truth’ for the sovereign is nothing to do with the senses.
Andersen’s tale, written in 1837, is probably a commentary of his rationalist time, when the ruling idea wrote off the body as a site where truth could happen.
It is no coincidence that in the story it is the child who sees the truth differently. Put as a caveat, the child does not signify a human subject with a powerful claim that he can dismiss his own senses, set his own body aside, and by doing it, produce something out of nothingness. In other words, the child is closer to the realm of the senses, a being-in-the-world unschooled by the Cartesian doubt pondering the existence of the body and the physical world.
The language of the poet is like the child’s voice. It is marked by what Julia Kristeva calls le semiotique, where the body connects with the word, where rhythm, pulse, tone, and motion, all the physical attributes of language, are born. That’s why the language of the poet is shaped more by sounds and images than by concepts and ideas. In fact, poetry can expel concepts and meaning from the words.
Sutardji Calzoum Bachri, one of the most innovative writers in the Indonesian literature, is a poet with such a belief. He claims that the words of his poetry can ‘create their own selves, play with themselves,’ unburdened by meaning or concepts. Let me read parts of his poetry:
siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling rumit siapa laut yang paling larut siapa tanah yang paling pijak siapa burung yang paling sayap siapa ayah yang paling tunggal siapa tahu yang paling tidak siapa Kau yang paling aku kalau tak aku yang paling rindu?
The sounds and the cadence, repetitive and yet intense, and the fleeting images, mournful and yet sprightly, all seem to strive towards a fascinating, indefinable, and probably sacred presence that is, at the same time, absent. Not ruled by the need to be symbolic, the poem sounds like an echo—das Gedunkelte Splitterecho, the ‘darkling splintered echo’ of Paul Celan.
It is the darkling side of a poetry that makes it a suspect, or an alienated pursuit, in an era driven by the technological need for clarity and the politics of religious and ethnic purity.
Many see this alienation a loss, and there have been attempts to redress the ‘problem.’ One of them is to draw poetry out from its marginality and push it back into the (Platonic) Republic, to adopt the language of knowledge and laws, and to play a role molded by the Book of the Father. In the process, poetry becomes a story of knowledge, power, and geniuses, in which the poet can claim, without the slightest embarrassment, that he/she is the ‘legislator of the world.’ Poetry will thus work to meet the common desire for any kind of finality. It is incited by linguistic and cultural systems which constantly propose themselves as possessing the ultimate quality of truth.
But of course, at the end, no authority possesses the truth: what it can offer us are merely words which are bound to defer the meaning ever onwards.
For that reason, I am more inclined to follow a different path—the one taken by Amir Hamzah, the lyric poet celebrated in different parts of the Malay world.
He, as you may well know, was the one who defied the Book of the Father. One of his prose-poems of the 1930s recounts an exciting journey to a place ‘cursed by all the holy books in the world,’ dikutuk segala kitab suci di dunia. But his heart, he wrote, ‘has its own text’—‘tapi kau, hatiku, punya kitab sendiri.’
Amir Hamzah’s way was a nyanyi sunyi, ‘a song of solitude’—the words he used to sum up his own poetry. It signifies his refusal to be part of the symbolic order’s politics of meaning, in which language is largely molded by the society’s drive for nothing but the truth. He opted for silence, for sunyi. It is, however, a silence that is not the antithesis of language, but the unrecognized part of it. Poetry’s silence is the kind of muteness that is also an intimation of being. In the famous lines of Ars Poetica, Archibald MacLeish believes that
A poem should be palpable and mute
As a globed fruit,
Dumb
As old medallions to the thumb,
Silent as the sleeve-worn stone
Of casement ledges where the moss has grown—
A poem should be wordless
As the flight of birds
In a sense, silence is poetry’s alter ego. In the silence of poetry lies a poetic language that circumvents the repetitive noise of verbal exchanges. In poetry’s silence, truth is a happening before language is regulated by a social and cultural order. It is truth experienced as an event. It takes place when language is no longer signs alluding to something already given, and yet something emerges in our consciousness.
In such a moment of truth, like in Amir Hamah’s poetry, one can regain what silence, the unrecognized part of language, opens to us, i.e. a world of unpredictable differences.
This is not merely an aesthetic argument. It is primarily an ethical position. By adopting a ‘language without words,’ as Emmanuel Lévinas puts it, by not trying to grasp and sculpt the Other using my verbal cast, I will always be able to encounter the irreducible face of the Other as the undying Other.
For that reason, recognizing silence as the dark, hidden part of language is also an act of humility. Words will always confront their own limits. That’s why in the life of a poem, the most important part is not its closure, but it’s becoming. ‘Sebuah sajak yang menjadi adalah sebuah dunia,’ ‘a poem in its becoming is a world,’ goes one of the famous aphorisms of Chairil Anwar.
In its becoming, in being ‘a world,’ poetry cannot but attend as well as engage the revealed and the obscure, the sacred and the profane, the sinful and the pious, truth and un-truth. All are a constellation of surprises. There is no way I can apprehend and forge them into an identifiable entity under my control.
Hence a poem in its becoming is a witness, that there is a site where I fail, you fail, even the Book of the Father fails. It is a site where freedom begins as a gift and ends as a demand.
Thank you.

.