MANBAUL 'ULUM

PONDOK PESANTREN

Foto Saya
Nama:
Lokasi: bulu - sugihwaras, bjonegoro, Indonesia

Jumat, 21 Januari 2011

GOENAWAN MOHAMMAD

DARI PENJARA KE PIGURA


Hubungan seni rupa dengan kemerdekaan dimulai dari awal, ketika kuas atau pahat menyentuh bahan. Garis, warna, bidang dan bentuk pun muncul, dan tampak bahwa – terutama dalam seni modern – di sana tak ada satu geometri yang tetap dan pasti. Semua gerak membebaskan diri dari itu. Bahkan juga pada karya Mondriaan: ia menorehkan goresan horisontal dan vertikal dalam kanvas dengan “kesadaran”, katanya, bukan dengan “kalkulasi”.
Warna hampir tanpa batas variasinya, bentuk bisa dalam berjuta-juta beda, dan gerak tangan terkadang memilih arahnya sendiri. Pendeknya, sang perupa bertindak di tengah hal ihwal yang tak sepenuhnya dapat diketahuinya: sebuah situasi di tebing khaos, tapi menjelang ada bentuk. Sang perupa memilih langkah. Makin lama memang makin tampak sebuah sosok. Tapi kita akan tahu, di dasarnya membayang sesuatu yang sengkarut: sesuatu yang tetap tak bisa diutarakan. Besoknya sang perupa pun melukis lagi.
Barangkali penciptaan adalah sebuah “kejadian”.
“Kejadian” — kata ini saya pungut sekenanya dari Alain Badiou — adalah sesuatu yang tak dapat diperhitungkan lebih dulu. Ia mirip loncatan ke dalam gelap. Tapi dengan itu sebuah situasi yang tampak utuh pun terkuak, sebuah kosmos ambrol, dan sesuatu yang baru lahir – seakan-akan ditemukan dan diutarakan buat pertama kalinya dalam hidup.
Berbeda dari yang umumnya dikemukakan para pemikir liberal, kemerdekaan kreatif bukanlah kemerdekaan yang datang dari “aku”, dari subyek, sang perupa. Dalam “kejadian”, bukan subyek yang merupakan asal, melainkan sebaliknya: subyektifitas lahir dari proses “kejadian”. Aku ada karena aku tergugah dan tergerak.
Persoalan ini penting dalam seni rupa modern – atau, dalam tarikh Indonesia, setelah S. Sudjojono. Pelopor ini terkenal merumuskan seni rupa sebagai “jiwa kétok”, atau “jiwa nampak.”
Dalam konteks sejarah Indonesia, itu penegasan satu versi humanisme: “jiwa nampak” adalah manusia atau subyek yang tak bisa dihilangkan dan diringkus. Dengan itulah dimulai pembebasan dari tata politik rust en orde, “ketenangan dan ketertiban” ala Hindia Belanda, ketika manusia dikelompokkan dan dikotak-kotakkan dalam sebuah taksonomi sosial, seakan-akan tak punya jiwa yang masing-masing unik. Setelah itu “zaman Jepang,” yang mereduksikan manusia – dalam hal ini para seniman — jadi instrumen imperialisme “Asia Timur Raya”. Diawasi sensor Kenpeitai dan diharuskan berpropaganda oleh Keimin Bunka Sidhoso, orang terpaksa (mengutip Chairil Anwar) “mendurhaka kepada Kata” – mengingkari Kata yang datang dari dalam jiwa.
Dengan latar itulah Pramoedya Ananta Toer, dalam Di Tepi Kali Bekasi, menyebut revolusi Indonesia sebagai “suatu epos tentang revolusi jiwa — dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka….”.
Kata “jiwa” dalam kalimat Sudjojono dan Pramoedya agaknya mengacu ke pengalaman perjuangan itu: revolusi Indonesia adalah revolusinya orang-orang yang kurus kering, tapi mereka bukan hanya sejumlah tubuh yang kurus kering.
Mereka adalah subyek yang memproduksi dirinya dalam deru dan debu revolusi: menegaskan diri, dengan militan, di antara gemuruhnya sebuah dunia yang retak dan hal ihwal dunia itu yang mau tak mau melekat pada diri mereka.
Revolusi 1945 memang bisa dianalogikan dengan “kejadian” dalam penciptaan seni: subyek yang lahir, “jiwa” yang “tampak,” bukanlah sesuatu yang sudah ada dan terbentuk sebelum “kejadian”.
Sebab itu ada dua soal yang sering timbul dari diktum seni rupa sebagai “jiwa tampak”.
Pertama, bila seni rupa dianggap merepresentasikan sesuatu yang sudah ada, sementara kita lebih akrab dengan ungkapan Paul Klee: seni rupa bukanlah “menampilkan yang terlihat, melainkan membuat terlihat”, not to render the visible, but to render visible. Karya-karya dalam pameran ini, misalnya, tak dimaksudkan untuk membuat bentuk dari naskah tentang kemerdekaan; mereka adalah cetusan kemerdekaan itu sendiri.
Kedua, bila “jiwa” dianggap transparan — sebagaimana anggapan semangat humanisme 1945 — sementara dalam masa pasca-revolusi kita tahu bahwa subyek itu, “jiwa” itu, bukanlah sesuatu yang utuh, jelas, dan final. Tiap kali kita menjebaknya dalam sosok yang bisa diidentifikasikan, kita ingat kata-kata Chairil: dalam diri manusia ada “gedong besar dan gelap tempat jiwa kita yang sejati bersembunyi.”
Dan sebenarnya Chairil hanya separuh benar: memang ada “gedong besar dan gelap”, tapi tak ada “jiwa kita yang sejati”.
Sebab menganggap ada “yang sejati” hanyalah klaim atas sesuatu yang sebenarnya tak dapat diukur, dirumuskan, untuk dinamai. Tiap klaim seperti itu akan jadi sejenis penjara. Maka “jiwa nampak” yang muncul dalam proses kreatif bukanlah sebuah kesatuan, melainkan sebuah proses pembebasan dari kolonialisme yang dipaksakan oleh dunia simbol.
Tentu, proses kreatif datang menerobos, lalu menghilang. Yang ada hanya jejaknya. Katakanlah jejak itu sebuah lukisan dalam pigura. Ia terbatas.
Meskipun demikian, ia melampaui keterbatasan itu, bila ia menghadirkan sesuatu yang membuatnya tak terhingga. Kita kadang-kadang menyebut sesuatu itu “keindahan” — nama lain dari yang tak terduga-duga, yang sebenarnya tak dapat ditunjuk; di tiap karya yang berhasil, selalu terungkap bayangan khaos.
Jika kita bersyukur, gentar, atau terpana, itu karena di sana tampak sesuatu yang tanpa batas – yang sekaligus memerdekakan karya itu bersama kita yang menatapnya



MENCOBA BERPISAH DARI SRI MULYANI

Goenawan Mohamad

MALAM ini kita mencoba berpisah dari Sri Mulyani.
Saya katakan "mencoba". Sebab sering kali, dan terutama malam ini, kita menyadari: orang bisa hanya sebentar mengucapkan "halo", tapi tak pernah bisa cuma sebentar mengucapkan "selamat berpisah".
Mungkin karena kita tak tahu apa sebenarnya arti "berpisah".
Terutama dalam hal Sri Mulyani. Kita mengerti, ia akan pergi ke Washington, DC, untuk sebuah jabatan baru di Bank Dunia; tapi itu tak berarti ia akan berpisah dari kita di Tanah Air. Tentu saja ia akan sibuk di sana, sebagaimana kita akan sibuk di sini. Tapi kita bisa yakin ia akan tak putus-putusnya memikirkan kita—bukan "kita" sebagai teman-temannya, melainkan "kita" sebagai bagian dari "Indonesia". Dan begitu pula sebaliknya: kita tak akan bisa melupakan dia.
Lagi pula, "berpisah" mengandung kesedihan, sementara peristiwa ini tak seluruhnya sebuah kesedihan. Saya melihat Sri Mulyani menerima jabatannya yang baru ini dengan gembira. Mungkin lega. Satu hal yang bisa dimaklumi.
Sebab, sejak Oktober 2009, ia sudah jadi sasaran tembak. Berbulan-bulan ia jadi target dari premanisme politik. Yang saya maksud dengan "premanisme" di sini tak jauh berbeda dengan ke-brutal-an yang kita saksikan di jalan-jalan—sebuah metode yang dipakai oleh sebuah kekuatan untuk menguasai satu posisi.
Metode premanisme itu adalah metode tiga jurus, dalam tiga fase.
Mula-mula gangguan terus-menerus, yang makin lama makin meningkat. Mula-mula ancaman yang membayang dari gangguan itu. Fase berikutnya adalah sebuah tawaran untuk "berdamai" kepada pihak yang diganggu. Dan akhirnya, pada fase yang ketiga, tatkala pihak yang diganggu tak tahan lagi, akan ada imbalan yang dibayarkan agar gangguan itu berhenti. Juga akan ada janji bahwa pihak yang diganggu akan selanjutnya diproteksi.
Sudah tentu, antara sang pengganggu dan sang protektor (yang kadang-kadang bersikap manis dan santun) ada kerja sama. Bahkan bukan mustahil sang protektor itulah yang menggerakkan para pengganggu. Makin sengit gangguannya, makin besar yang dipertaruhkan—dan akan makin besar pula imbalan yang diminta dan didapat.
Bila premanisme di jalanan akan menghasilkan imbalan uang atau protection money, imbalan dalam premanisme politik adalah naiknya posisi kekuasaan.
Demikianlah yang terjadi dengan kasus Bank Century. Imbalan yang harus diserahkan adalah mundurnya Sri Mulyani dari jabatan Menteri Keuangan. Segala cara dipakai, segala daya dibayar. Politikus Senayan tak henti-hentinya membentak dan menggedor-gedor. Melalui media yang dikuasai dengan baik, kampanye anti-Sri Mulyani (dan Boediono) digencarkan. Demonstrasi-demonstrasi yang berisik dan agresif muncul. Sri Mulyani diboikot di sidang DPR, meskipun ia oleh pimpinan DPR diundang dengan resmi sebagai Menteri Keuangan. Boediono dikesankan akan dimakzulkan dari posisinya sebagai wakil presiden.
Akhirnya semua kita tahu: Sri Mulyani dipaksa berubah dari sebuah asset menjadi sebuah liability bagi pemerintahan SBY. Ia tidak bisa bertahan lagi. Ia tidak dipertahankan lagi oleh Presiden, yang barangkali merasa bahwa pemerintahannya akan habis energi karena direcoki terus-menerus.
Akhirnya semua kita tahu, hanya beberapa jam setelah Sri Mulyani dinyatakan turun dari jabatannya, konstelasi politik berubah. Akhirnya semua kita tahu, apa dan siapa yang mendapatkan kekuasaan yang lebih besar setelah itu. Dan akhirnya kita menyaksikan, perecokan dan keberisikan yang berlangsung berbulan-bulan itu dengan segera berhenti. Medan politik sepi kembali. Stabilitas tampak terjamin. Presiden lega.
Saya kira, Sri Mulyani juga lega: kini ia terbebas dari posisi sebagai bulan-bulanan kampanye buruk. Tapi tak kalah penting, ia meninggalkan jabatannya tanpa cacat. Bahkan seperti diucapkannya dalam kuliah umumnya tadi malam, ia merasa menang, dan ia berhasil. Ia merasa menang dan berhasil karena ia tetap "tak bisa didikte" hingga meninggalkan prinsip hidupnya, hati nuraninya, dan kehormatan dirinya.
Dalam hal itu, perpisahan malam ini merupakan pelepasan yang rela dan senang hati untuk seseorang yang kita sayangi dan kagumi.
***
TAPI saya akan berbohong jika mengatakan perpisahan ini bebas dari rasa risau.
Kita risau bukan karena Sri Mulyani turun; kita risau karena merasakan bahwa sebuah harapan telah jadi oleng, terguncang—harapan untuk mempunyai Indonesia yang lebih bersih. Kita risau karena kita jadi ragu, masih mungkinkah tumbuhnya kehidupan politik yang adil dan tak curang di tanah air kita.
Mampukah kita membebaskan diri dari premanisme politik? Bisakah berkurang kekuatan uang di parlemen, hukum, dan media dalam demokrasi kita? Sanggupkah kita membersihkan kehidupan bernegara kita dari jual-beli dukungan, jual-beli kedudukan, jual-beli keputusan—bagian yang paling gawat dalam koreng atau kanker besar yang bernama "korupsi" itu?
Pemerintahan SBY-Boediono punya janji yang seharusnya dianggap suci—yakni membangun sebuah pemerintahan yang bersih, melalui reformasi birokrasi, melalui pemberantasan korupsi. Semula kita punya keyakinan besar, janji itu akan jadi sikap yang teguh, dan sikap itu akan jadi program, dan program itu konsisten dijalankan. Tapi kini saya tak bisa mengatakan bahwa keyakinan itu masih sekuat dulu.
Tentu saja kita masih bisa percaya, pemerintah ini tetap ingin melanjutkan usaha ke arah Indonesia yang bebas dari korupsi; namun persoalannya, masih mampukah dia?
Tak perlu diulangi panjang-lebar lagi, Sri Mulyani dengan berani dan bersungguh-sungguh memulai reformasi birokrasi di tempatnya bekerja. Dalam sejarah Indonesia, mungkin baru Sri Mulyani-lah Menteri Keuangan yang dengan tangguh mencoba membersihkan aparatnya—sebuah langkah awal dari sebuah kerja yang panjang, yang mungkin baru akan selesai satu-dua generasi lagi.
Tapi kini pemerintahan SBY-Boediono telah kehilangan Menteri Keuangan yang tangguh ini.
Tentu saja Sri Mulyani bisa digantikan. Tak seorang pun seharusnya dianggap indispensable. Pengganti Sri Mulyani tidak dengan sendirinya seorang yang lemah.
Tapi beban jadi bertambah berat. Untuk membuat rakyat kembali yakin bahwa pemerintah ini masih ingin membangun sebuah republik yang bersih, Presiden SBY harus melipatgandakan ikhtiar. KPK yang kuat harus didukung dengan jelas, perlawanan terhadap Mafia Pengadilan harus lebih diefektifkan, polisi dan kejaksaan dibersihkan, dan tak kurang penting: legislasi dan regulasi yang tidak kompromistis terhadap kekuatan-kekuatan yang korup.
Tapi mungkinkah hal itu dapat terlaksana sekarang?
Kini politikus Senayan semakin merasa kuat dan semakin angkuh; mereka telah berhasil membuat Presiden berkompromi dan menyudutkan Sri Mulyani hingga jadi beban politik bagi pemerintah.
Pada saat yang sama kita lihat juga bagaimana politikus Senayan—terutama para pencari dan penadah suap—mencoba membuat KPK lemah dan Tim Anti-Mafia Pengadilan tak bergigi. Premanisme politik yang menang memang tidak mudah dijinakkan.
Pada saat yang sama kita pun layak ragu, bisakah kabinet menjalankan kebijakan yang merugikan kepentingan kelompok bisnis tertentu—ketika Aburizal Bakrie, tokoh bisnis, politik, dan penguasa media itu, berada dalam posisi yang sangat kuat di dekat kabinet dan DPR sekaligus.
Di depan kekuatan seperti itu, akan bisa tumbuh kesan kroniisme kembali lagi, seperti di zaman Orde Baru dulu. Di depan kroniisme, parang yang akan membabat korupsi akan tumpul.
Sesuatu yang serius akan terjadi jika pemerintahan SBY-Boediono gagal menjawab rasa keraguan yang saya sebut di atas. Yang akan terjadi adalah hilangnya sebuah momentum—yakni momentum gerakan nasional melawan korupsi. Pada hemat saya, gerakan ini adalah panggilan perjuangan terpenting dalam sejarah Indonesia sekarang.
Sekali momentum itu hilang, susah benar untuk mendapatkannya lagi. Sekali momentum itu hilang, kita akan hidup dengan korupsi yang tak habis-habis.
Tentu, Indonesia tak akan segera runtuh. Bahkan negeri ini akan mungkin berjalan dengan pertumbuhan ekonomi yang lumayan, 6 persen atau 7 persen. Tapi akan ada sesuatu yang mungkin tak bisa diperbaiki lagi—yakni terkikisnya "modal sosial", runtuhnya sikap saling percaya dalam masyarakat.
Sebab yang dirampok oleh para koruptor dari masyarakat bukan cuma uang, tapi juga kepercayaan dan harapan. Korupsi yang kita alami tiap hari akan membuat kita selamanya curiga kepada orang lain yang berhubungan dengan kita dalam bisnis dan politik. Korupsi yang kita alami tiap hari akan membuat kita hidup dengan sinisme—dengan keyakinan bahwa semua orang dapat dibeli.
Sinisme ini racun—dan terkikisnya "modal sosial" akan membuat sebuah negeri setengah lumpuh dan menyerah.
Tapi baiklah. Saya tak ingin membuat acara kita berpisah dari Sri Mulyani ini hanya diisi dengan deretan kecemasan.
Sejarah Indonesia menunjukkan, harapan adalah sesuatu yang sulit, tapi tak pernah padam. Kita memang sering kecewa; kita memang tahu sejak 1945 Indonesia dibangun oleh potongan-potongan optimisme yang pendek. Tapi sejak 1945 pula Indonesia selalu bangkit kembali. Bangsa ini selalu berangkat kerja kembali, mengangkut batu berat cita-cita itu lagi, biarpun berkali-kali tangan patah, tubuh jatuh, dan semangat terguncang.
Sementara itu, makin lama kita makin arif: kita memang tidak akan bisa mencapai apa yang kita cita-citakan secara penuh; tapi kita merasakan bahwa Indonesia adalah sebuah amanah—dan dalam pengertian saya, sebuah amanah adalah tugas takdir dan sejarah. Dengan kata lain, kita tak bisa melepaskan diri dari komitmen kita buat Indonesia. Selama kita ada.
Perpisahan kita dari Sri Mulyani malam ini justru merupakan penegasan komitmen itu. "Jangan berhenti mencintai Indonesia," itulah kata-kata Sri Mulyani kepada jajaran pejabat Kementerian Keuangan yang harus ditinggalkannya, agar melanjutkan reformasi.
Kata-kata itu hidup, karena ia dihidupkan oleh perbuatan dan pengorbanan. Dan kita mendengarkannya. Maka pada titik ini baiklah kita ucapkan: kita akan melanjutkan reformasi itu, Ani. Jika malam ini kita ucapkan "selamat jalan", kita sekaligus juga mengucapkan: "You shall return."

- Pidato pada malam perpisahan dengan Sri Mulyani Indrawati, di Jakarta, 19 Mei 2010

A POEM IN ITS BECOMING…

Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad’s opening speech at the World Poetry Festival, Kuala Lumpur, 17 August 2004

I would like to thank you for having me here, in this extraordinary gathering of poets, and for giving me the honor to begin our conversation.
However, I must confess my nervousness; I know that each time poets get together they become acutely self-conscious of their peculiar trade, especially in today’s world. When words relentlessly multiply, like they do nowadays, the verbal deluge makes us wonder what will happen next to the hidden side of language, which is silence.
I hope you understand my hesitation. From this rostrum I will be speaking about silence, yet I cannot help using so many words.
But could I have chosen a more appropriate subject? We are living in a time when language moves like the horse in the ancient Indian ritual of Ashvamedha. Like the sacrificial horse, it is the powers-that-be who decide that language has to be seen as free as possible to roam. In practice, however, a host of officials follow it and claim whatever territory it enters. At the end of the day, language, like the horse, is slaughtered to enhance the mystic of the throne and the pulpit.
Often times, the state, the religious authorities, and the high priests of the media create a ritual for the dead language, solidified in a single book with a secured meaning and commanding content. Without claiming to be original, I would call it the Book of the Father, meaning any text held up by a prevailing linguistic and social order that imposes its authority on truth and falsity.
At this juncture, language becomes an intimidating presence, (Roland Barthes called it ‘fascist’), and we are left with no other possibility but to perpetuate the ideology of the symbolic order. It is the ideology that generates a false belief that language, with all of its pleasing vowels and compelling consonants, is quite capable of adequately representing everything that happens in the unarticulated life-world. But we know that it is not the case. An Indonesian poet, Toto Sudarto Bachtiar, put it succinctly, “karena kata tak cukup buat berkata,” “since words are not an adequate means with which to speak.”
Yet the ideology of the symbolic order transforms human into a cognitive centre. In no time, an overriding drive for truth prevails. It was such a drive that brought Plato, the ancient Greek philosopher, to launch a polemic against rhetoric and design a Republic without Poets.
The Platonic temper is to belittle the poet’s use of words, insisting that he or she does not speak or write for truth.
Such a frame of mind persists. In fact, it is more pronounced in our time. This is an era shaped by two seemingly contradictory forces, i.e. the compulsion of modernity and the return of the absolute faith that take poetry as a suspect.
‘The poets lie too much,’ says Nietzsche’s Zarathustra. But let me add that Zarathustra, himself a poet, seems to understand that there is a problem with the easy notion of ‘lie,’ as there is a problem with the easy notion of ‘truth’.
We all remember the famous tale by Hans Christian Andersen about an Emperor whose only ambition is to be well dressed. His passion for clothes was such that one day two swindlers succeeded in befooling him, promising him to create an extraordinary outfit for a parade. The dress, so they told the Emperor, was made by material invisible to anybody unfit for his office or anyone unforgivably stupid.
The clothes were, of course, nonexistent. But for fear of being called stupid, everybody, from the Emperor down to the city’s commoners watching the parade, insisted that the royal outfit was truly magnificent. Only a child in the crowd saw what happened, and shouted, ‘The Emperor has nothing on at all!’
On hearing the child’s words, the entire crowd realized how untruthful they had been to each other and to themselves. They decided to yell, ‘The Emperor has nothing on at all!’
His Majesty was, of course, not deaf to the clamor. But Andersen ends his story by describing how the Emperor decided to continue the parade until the scheduled end. Obviously he was determined to show that the crowd failed to grasp ‘the truth.’
As I see it, the Emperor’s last act is to defy the idea that ‘truth’ is what you see. ‘Truth’ for the sovereign is nothing to do with the senses.
Andersen’s tale, written in 1837, is probably a commentary of his rationalist time, when the ruling idea wrote off the body as a site where truth could happen.
It is no coincidence that in the story it is the child who sees the truth differently. Put as a caveat, the child does not signify a human subject with a powerful claim that he can dismiss his own senses, set his own body aside, and by doing it, produce something out of nothingness. In other words, the child is closer to the realm of the senses, a being-in-the-world unschooled by the Cartesian doubt pondering the existence of the body and the physical world.
The language of the poet is like the child’s voice. It is marked by what Julia Kristeva calls le semiotique, where the body connects with the word, where rhythm, pulse, tone, and motion, all the physical attributes of language, are born. That’s why the language of the poet is shaped more by sounds and images than by concepts and ideas. In fact, poetry can expel concepts and meaning from the words.
Sutardji Calzoum Bachri, one of the most innovative writers in the Indonesian literature, is a poet with such a belief. He claims that the words of his poetry can ‘create their own selves, play with themselves,’ unburdened by meaning or concepts. Let me read parts of his poetry:
siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling rumit siapa laut yang paling larut siapa tanah yang paling pijak siapa burung yang paling sayap siapa ayah yang paling tunggal siapa tahu yang paling tidak siapa Kau yang paling aku kalau tak aku yang paling rindu?
The sounds and the cadence, repetitive and yet intense, and the fleeting images, mournful and yet sprightly, all seem to strive towards a fascinating, indefinable, and probably sacred presence that is, at the same time, absent. Not ruled by the need to be symbolic, the poem sounds like an echo—das Gedunkelte Splitterecho, the ‘darkling splintered echo’ of Paul Celan.
It is the darkling side of a poetry that makes it a suspect, or an alienated pursuit, in an era driven by the technological need for clarity and the politics of religious and ethnic purity.
Many see this alienation a loss, and there have been attempts to redress the ‘problem.’ One of them is to draw poetry out from its marginality and push it back into the (Platonic) Republic, to adopt the language of knowledge and laws, and to play a role molded by the Book of the Father. In the process, poetry becomes a story of knowledge, power, and geniuses, in which the poet can claim, without the slightest embarrassment, that he/she is the ‘legislator of the world.’ Poetry will thus work to meet the common desire for any kind of finality. It is incited by linguistic and cultural systems which constantly propose themselves as possessing the ultimate quality of truth.
But of course, at the end, no authority possesses the truth: what it can offer us are merely words which are bound to defer the meaning ever onwards.
For that reason, I am more inclined to follow a different path—the one taken by Amir Hamzah, the lyric poet celebrated in different parts of the Malay world.
He, as you may well know, was the one who defied the Book of the Father. One of his prose-poems of the 1930s recounts an exciting journey to a place ‘cursed by all the holy books in the world,’ dikutuk segala kitab suci di dunia. But his heart, he wrote, ‘has its own text’—‘tapi kau, hatiku, punya kitab sendiri.’
Amir Hamzah’s way was a nyanyi sunyi, ‘a song of solitude’—the words he used to sum up his own poetry. It signifies his refusal to be part of the symbolic order’s politics of meaning, in which language is largely molded by the society’s drive for nothing but the truth. He opted for silence, for sunyi. It is, however, a silence that is not the antithesis of language, but the unrecognized part of it. Poetry’s silence is the kind of muteness that is also an intimation of being. In the famous lines of Ars Poetica, Archibald MacLeish believes that
A poem should be palpable and mute
As a globed fruit,
Dumb
As old medallions to the thumb,
Silent as the sleeve-worn stone
Of casement ledges where the moss has grown—
A poem should be wordless
As the flight of birds
In a sense, silence is poetry’s alter ego. In the silence of poetry lies a poetic language that circumvents the repetitive noise of verbal exchanges. In poetry’s silence, truth is a happening before language is regulated by a social and cultural order. It is truth experienced as an event. It takes place when language is no longer signs alluding to something already given, and yet something emerges in our consciousness.
In such a moment of truth, like in Amir Hamah’s poetry, one can regain what silence, the unrecognized part of language, opens to us, i.e. a world of unpredictable differences.
This is not merely an aesthetic argument. It is primarily an ethical position. By adopting a ‘language without words,’ as Emmanuel Lévinas puts it, by not trying to grasp and sculpt the Other using my verbal cast, I will always be able to encounter the irreducible face of the Other as the undying Other.
For that reason, recognizing silence as the dark, hidden part of language is also an act of humility. Words will always confront their own limits. That’s why in the life of a poem, the most important part is not its closure, but it’s becoming. ‘Sebuah sajak yang menjadi adalah sebuah dunia,’ ‘a poem in its becoming is a world,’ goes one of the famous aphorisms of Chairil Anwar.
In its becoming, in being ‘a world,’ poetry cannot but attend as well as engage the revealed and the obscure, the sacred and the profane, the sinful and the pious, truth and un-truth. All are a constellation of surprises. There is no way I can apprehend and forge them into an identifiable entity under my control.
Hence a poem in its becoming is a witness, that there is a site where I fail, you fail, even the Book of the Father fails. It is a site where freedom begins as a gift and ends as a demand.
Thank you.

.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda