trisnoyuwono
Kamis, 31 Oktober 1996
______________________________________________________________________
In Memoriam Trisnoyuwono
"Aku Ingin Menulis Novel Lagi"
[INLINE] ALMARHUM Trisnoyuwono di belakang meja kerjanya di bagian
penerbitan PT Granesia, tahun 1986. Orang yang "tahu" Mas Tris akan
sepakat, almarhum itu orang yang bersemangat dan tidak suka
kepura-puraan.* (DOKUMENTASI/"PR")
______________________________________________________________________
SEBUAH ruangan di rumahnya yang sederhana penuh dengan buku dan
lembaran-lembaran kertas. Ada satu dua cerita pendek yang tak selesai.
Mungkin inilah bukti kata-katanya bahwa ia ingin menulis novel lagi."
Gua ingin menulis lagi," ujarnya setiap kali kami berjumpa.
Haru ini tak tertahankan manakala menampak sosok Trisnoyuwono terbujur
kaku di ruangan depan. Telah pergi penulis yang selalu ingin nampak
tegar ini. Baginya tak ada kata-kata "menyerah", api semangat selalu
membara dalam dadanya.
Sikap tak ingin dikasihani dan ingin selalu tampak tegar, pernah
tersirat suatu hari. Kala itu saya bertemu di ruangan kantor Granesia
Jl Soekarno-Hatta. Saya terharu mendengar beliau dinyatakan menderita
diabetes dan sudah harus membatasi makan. Ketika rasa haru dan peduli
pada dirinya saya utarakan, almarhum malah tertawa. "Kenapa kalau gua
sakit? Lu tak usah ikut sedih, namanya manusia kan harus sakit. Lu
udah beli buku baru?" ujarnya mengalihkan obrolan. Saat itu Mas Tris
(begitu saya memanggilnya) mengatakan bahwa sebuah ide untuk novel
sudah diutarakannya. Almarhum juga mengatakan rencananya akan terjun
di satu acara. Padahal tubuhnya sudah kurus sekali, dan matanya sudah
tampak kuyu. Saya menatap suap demi suap dengan trenyuh.
"Lu mau ?" katanya.
"Apaan, makanan sedikit gitu ditawar-tawarkan?"
"Naaah gitu doong, itu baru temen gua. Lu nggak usah ngomong sedih,
nggak pantes," katanya pula.
Saya kembali terlibat obrolan biasa, tentang buku dan perkembangan
sastra. Katanya tadi malam almarhum merenungi sebuah sajak Kahlil
Gibran yang judulnya "The Voice of The Master". Kemudian katanya pula
setelah itu keinginan untuk menulis novel semakin menggebu. Saya tidak
memberi tanggapan, terus mengikuti makannya yang perlahan. Hanya hati
yang semakin yakin bahwa Mas Tris sedang terayun dalam jiwa yang
rapuh.
Mungkin bagi mereka yang pernah membaca karyanya akan sepakat bahwa
Trisnoyuwono adalah orang yang bersemangat. Misalnya karya karyanya
yang terkumpul dalam "Laki-laki dan Mesiu " yang diterjemahkan dalam
bahasa Sunda oleh almarhum Mien Resmana, ("Lalaki jeung Jajatenna").
Dalam salah satu cerpennya yang dimuat majalah Roman (1956) berjudul
"Ratnawati", gaya bahasa Trisno yang elastis tampak sekali. Bahasa
yang digunakannya selalu bahasa ceria yang mengalir, enak dibaca.
Cerpen- cerpennya yang pernah saya baca, umumnya disuguhkan dengan
gaya menarik, kendati sebenarnya isinya cukup dalam dan sindirannya
yang halus.
Almarhum mulai dikenal sebagai pengarang Indonesia di akhir tahun
50-an, seangkatan dengan Ayip Rosidi, SM Ardan, Sukanto.SA, Syuman
Djaya, dll. Sebagai pengarang, almarhum sudah sering mendapat
penghargaan. Antara lain, cerpennya berjudul "Tinggul" yang kemudian
dibukukan dalam "Laki-laki dan Mesiu " mendapat hadiah I dari Majalah
Sastra "Kisah". Kemudian kumpulan cerpen "Laki-laki dan Mesiu" juga
mendapat penghargaan I dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional
(l960), serta buku "Pagar Kawat Berduri" mendapat hadiah III dari
Yayasan Yamin (l964). Namun setelah almarhum berangkat tua, buah
pikirannya banyak yang tersimpan dalam batinnya, tidak mampu ia
tuliskan. Pernah sekali almarhum meminta sebuah pengalamannya saya
tulis. Saat itu saya mencoba menolak dengan alasan mungkin akan beda
penuturannya bila saya yang menyuguhkannya. Saya malu karena saya
masih merasa belajar. Seperti biasa almarhum memberi semangat dengan
cara lain.
"Sombong amat, lu, gua mintai tolong segitu saja."
Saya tak kuasa menolak. Lalu beliau berbicara panjang, saya catat dan
saya mencoba menyuguhkannya di "PR" Minggu. Saya merasa bangga waktu
beliau memuji tulisan itu. Meskipun caranya memuji hanya tersirat dari
kalimatnya yang sederhana.
"Lu kan cuma sombong aja, sebenernya bisa, kan," katanya.
Lain dengan tulisannya, yang selalu menyembunyikan kritiknya dengan
halus, dalam cara bercerita yang segar, dalam kesehariannya almarhum
selalu berbicara blak-blakan. Dari caranya ber-"elu dan ber-"gua" pada
siapa saja yang ia akrabi, tampak bahwa Mas Tris tak pernah membedakan
usia dan kedudukan seseorang. Asal ia merasa cocok, ia langsung akrab.
Mas Tris tidak suka kepura-puraan. Kadang tampaknya ia tak peduli bila
yang dikritiknya akan sakit hati. Itu hanya tampak di permukaan,
karena sebenarnya almarhum tidak beritikad untuk menyakiti orang lain.
Ia hanya suka seadanya.
Seperti misalnya suatu ketika almarhum menitipkan kado pernikahan
untuk anak saya. Kado itu diberikannya seadanya, masih lengkap dengan
harganya, langsung dari toko. Saya agak kagok juga menerimanya. Dalam
hati saya berbicara, bagaimana kalau anak menantu saya mengira sudah
saya buka lebih dulu.
"Ya sudah kasihkan, kenapa diam? Biar gua bungkus, nantinya kan akan
dibuka juga," katanya. Benar juga, pikir saya.
Lama saya tak pernah berjumpa, karena kantor tempat saya bekerja tidak
lagi berdekatan. Namun pernah sekali almarhum menelpon, hanya
menanyakan kesehatan saya.
Mungkin pertemuan terakhir, kira-kira sebulan lalu. Saya mendengar
bahwa almarhum sudah sangat lemah. Bersama beberapa karyawan dan
karyawati "PR" saya menengok almarhum. Saya duduk di dekatnya dan saya
bisikkan apakah Mas Tris masih ingat saya.
" Ah, ini kan Aam," katanya. Seperti biasa, almarhum tak pernah
memperlihatkan penderitaan. Dengan gaya khasnya, almarhum minta
disuapi bubur tahu. Seorang-seorang disebut namanya, dan beliau memang
masih ingat pada semuanya.
Namun pada saat itu, beliau dengan lemah berkata.
"Mas ingin menulis novel lagi, Am," ujarnya.
Saya sembunyikan muka saya, agar tak tampak sedih. Ada sesuatu yang
merasuk dalam kalbu yang terdalam, saat ia tidak lagi ber-"elu"dan
ber-"gua" seperti biasanya. Dan benarlah, kabar kepergiannya saya
terima pagi hari kemarin. Sosok yang selalu berusaha tegar itu telah
dipanggil keharibaan-Nya. Inna lilaahi wa inna Illaihi Roji'un.
Selamat jalan Mas Tris.(aam amilia)***
______________________________________________________________________
In Memoriam Trisnoyuwono
"Aku Ingin Menulis Novel Lagi"
[INLINE] ALMARHUM Trisnoyuwono di belakang meja kerjanya di bagian
penerbitan PT Granesia, tahun 1986. Orang yang "tahu" Mas Tris akan
sepakat, almarhum itu orang yang bersemangat dan tidak suka
kepura-puraan.* (DOKUMENTASI/"PR")
______________________________________________________________________
SEBUAH ruangan di rumahnya yang sederhana penuh dengan buku dan
lembaran-lembaran kertas. Ada satu dua cerita pendek yang tak selesai.
Mungkin inilah bukti kata-katanya bahwa ia ingin menulis novel lagi."
Gua ingin menulis lagi," ujarnya setiap kali kami berjumpa.
Haru ini tak tertahankan manakala menampak sosok Trisnoyuwono terbujur
kaku di ruangan depan. Telah pergi penulis yang selalu ingin nampak
tegar ini. Baginya tak ada kata-kata "menyerah", api semangat selalu
membara dalam dadanya.
Sikap tak ingin dikasihani dan ingin selalu tampak tegar, pernah
tersirat suatu hari. Kala itu saya bertemu di ruangan kantor Granesia
Jl Soekarno-Hatta. Saya terharu mendengar beliau dinyatakan menderita
diabetes dan sudah harus membatasi makan. Ketika rasa haru dan peduli
pada dirinya saya utarakan, almarhum malah tertawa. "Kenapa kalau gua
sakit? Lu tak usah ikut sedih, namanya manusia kan harus sakit. Lu
udah beli buku baru?" ujarnya mengalihkan obrolan. Saat itu Mas Tris
(begitu saya memanggilnya) mengatakan bahwa sebuah ide untuk novel
sudah diutarakannya. Almarhum juga mengatakan rencananya akan terjun
di satu acara. Padahal tubuhnya sudah kurus sekali, dan matanya sudah
tampak kuyu. Saya menatap suap demi suap dengan trenyuh.
"Lu mau ?" katanya.
"Apaan, makanan sedikit gitu ditawar-tawarkan?"
"Naaah gitu doong, itu baru temen gua. Lu nggak usah ngomong sedih,
nggak pantes," katanya pula.
Saya kembali terlibat obrolan biasa, tentang buku dan perkembangan
sastra. Katanya tadi malam almarhum merenungi sebuah sajak Kahlil
Gibran yang judulnya "The Voice of The Master". Kemudian katanya pula
setelah itu keinginan untuk menulis novel semakin menggebu. Saya tidak
memberi tanggapan, terus mengikuti makannya yang perlahan. Hanya hati
yang semakin yakin bahwa Mas Tris sedang terayun dalam jiwa yang
rapuh.
Mungkin bagi mereka yang pernah membaca karyanya akan sepakat bahwa
Trisnoyuwono adalah orang yang bersemangat. Misalnya karya karyanya
yang terkumpul dalam "Laki-laki dan Mesiu " yang diterjemahkan dalam
bahasa Sunda oleh almarhum Mien Resmana, ("Lalaki jeung Jajatenna").
Dalam salah satu cerpennya yang dimuat majalah Roman (1956) berjudul
"Ratnawati", gaya bahasa Trisno yang elastis tampak sekali. Bahasa
yang digunakannya selalu bahasa ceria yang mengalir, enak dibaca.
Cerpen- cerpennya yang pernah saya baca, umumnya disuguhkan dengan
gaya menarik, kendati sebenarnya isinya cukup dalam dan sindirannya
yang halus.
Almarhum mulai dikenal sebagai pengarang Indonesia di akhir tahun
50-an, seangkatan dengan Ayip Rosidi, SM Ardan, Sukanto.SA, Syuman
Djaya, dll. Sebagai pengarang, almarhum sudah sering mendapat
penghargaan. Antara lain, cerpennya berjudul "Tinggul" yang kemudian
dibukukan dalam "Laki-laki dan Mesiu " mendapat hadiah I dari Majalah
Sastra "Kisah". Kemudian kumpulan cerpen "Laki-laki dan Mesiu" juga
mendapat penghargaan I dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional
(l960), serta buku "Pagar Kawat Berduri" mendapat hadiah III dari
Yayasan Yamin (l964). Namun setelah almarhum berangkat tua, buah
pikirannya banyak yang tersimpan dalam batinnya, tidak mampu ia
tuliskan. Pernah sekali almarhum meminta sebuah pengalamannya saya
tulis. Saat itu saya mencoba menolak dengan alasan mungkin akan beda
penuturannya bila saya yang menyuguhkannya. Saya malu karena saya
masih merasa belajar. Seperti biasa almarhum memberi semangat dengan
cara lain.
"Sombong amat, lu, gua mintai tolong segitu saja."
Saya tak kuasa menolak. Lalu beliau berbicara panjang, saya catat dan
saya mencoba menyuguhkannya di "PR" Minggu. Saya merasa bangga waktu
beliau memuji tulisan itu. Meskipun caranya memuji hanya tersirat dari
kalimatnya yang sederhana.
"Lu kan cuma sombong aja, sebenernya bisa, kan," katanya.
Lain dengan tulisannya, yang selalu menyembunyikan kritiknya dengan
halus, dalam cara bercerita yang segar, dalam kesehariannya almarhum
selalu berbicara blak-blakan. Dari caranya ber-"elu dan ber-"gua" pada
siapa saja yang ia akrabi, tampak bahwa Mas Tris tak pernah membedakan
usia dan kedudukan seseorang. Asal ia merasa cocok, ia langsung akrab.
Mas Tris tidak suka kepura-puraan. Kadang tampaknya ia tak peduli bila
yang dikritiknya akan sakit hati. Itu hanya tampak di permukaan,
karena sebenarnya almarhum tidak beritikad untuk menyakiti orang lain.
Ia hanya suka seadanya.
Seperti misalnya suatu ketika almarhum menitipkan kado pernikahan
untuk anak saya. Kado itu diberikannya seadanya, masih lengkap dengan
harganya, langsung dari toko. Saya agak kagok juga menerimanya. Dalam
hati saya berbicara, bagaimana kalau anak menantu saya mengira sudah
saya buka lebih dulu.
"Ya sudah kasihkan, kenapa diam? Biar gua bungkus, nantinya kan akan
dibuka juga," katanya. Benar juga, pikir saya.
Lama saya tak pernah berjumpa, karena kantor tempat saya bekerja tidak
lagi berdekatan. Namun pernah sekali almarhum menelpon, hanya
menanyakan kesehatan saya.
Mungkin pertemuan terakhir, kira-kira sebulan lalu. Saya mendengar
bahwa almarhum sudah sangat lemah. Bersama beberapa karyawan dan
karyawati "PR" saya menengok almarhum. Saya duduk di dekatnya dan saya
bisikkan apakah Mas Tris masih ingat saya.
" Ah, ini kan Aam," katanya. Seperti biasa, almarhum tak pernah
memperlihatkan penderitaan. Dengan gaya khasnya, almarhum minta
disuapi bubur tahu. Seorang-seorang disebut namanya, dan beliau memang
masih ingat pada semuanya.
Namun pada saat itu, beliau dengan lemah berkata.
"Mas ingin menulis novel lagi, Am," ujarnya.
Saya sembunyikan muka saya, agar tak tampak sedih. Ada sesuatu yang
merasuk dalam kalbu yang terdalam, saat ia tidak lagi ber-"elu"dan
ber-"gua" seperti biasanya. Dan benarlah, kabar kepergiannya saya
terima pagi hari kemarin. Sosok yang selalu berusaha tegar itu telah
dipanggil keharibaan-Nya. Inna lilaahi wa inna Illaihi Roji'un.
Selamat jalan Mas Tris.(aam amilia)***
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda