MANBAUL 'ULUM

PONDOK PESANTREN

Foto Saya
Nama:
Lokasi: bulu - sugihwaras, bjonegoro, Indonesia

Jumat, 28 Januari 2011

trisnoyuwono

 Kamis, 31 Oktober 1996
   ______________________________________________________________________
                                      
   In Memoriam Trisnoyuwono
   "Aku Ingin Menulis Novel Lagi"
   
   [INLINE] ALMARHUM Trisnoyuwono di belakang meja kerjanya di bagian
   penerbitan PT Granesia, tahun 1986. Orang yang "tahu" Mas Tris akan
   sepakat, almarhum itu orang yang bersemangat dan tidak suka
   kepura-puraan.* (DOKUMENTASI/"PR")
   ______________________________________________________________________
                                      
   SEBUAH ruangan di rumahnya yang sederhana penuh dengan buku dan
   lembaran-lembaran kertas. Ada satu dua cerita pendek yang tak selesai.
   Mungkin inilah bukti kata-katanya bahwa ia ingin menulis novel lagi."
   Gua ingin menulis lagi," ujarnya setiap kali kami berjumpa.
   
   Haru ini tak tertahankan manakala menampak sosok Trisnoyuwono terbujur
   kaku di ruangan depan. Telah pergi penulis yang selalu ingin nampak
   tegar ini. Baginya tak ada kata-kata "menyerah", api semangat selalu
   membara dalam dadanya.
   
   Sikap tak ingin dikasihani dan ingin selalu tampak tegar, pernah
   tersirat suatu hari. Kala itu saya bertemu di ruangan kantor Granesia
   Jl Soekarno-Hatta. Saya terharu mendengar beliau dinyatakan menderita
   diabetes dan sudah harus membatasi makan. Ketika rasa haru dan peduli
   pada dirinya saya utarakan, almarhum malah tertawa. "Kenapa kalau gua
   sakit? Lu tak usah ikut sedih, namanya manusia kan harus sakit. Lu
   udah beli buku baru?" ujarnya mengalihkan obrolan. Saat itu Mas Tris
   (begitu saya memanggilnya) mengatakan bahwa sebuah ide untuk novel
   sudah diutarakannya. Almarhum juga mengatakan rencananya akan terjun
   di satu acara. Padahal tubuhnya sudah kurus sekali, dan matanya sudah
   tampak kuyu. Saya menatap suap demi suap dengan trenyuh.
   
   "Lu mau ?" katanya.
   
   "Apaan, makanan sedikit gitu ditawar-tawarkan?"
   
   "Naaah gitu doong, itu baru temen gua. Lu nggak usah ngomong sedih,
   nggak pantes," katanya pula.
   
   Saya kembali terlibat obrolan biasa, tentang buku dan perkembangan
   sastra. Katanya tadi malam almarhum merenungi sebuah sajak Kahlil
   Gibran yang judulnya "The Voice of The Master". Kemudian katanya pula
   setelah itu keinginan untuk menulis novel semakin menggebu. Saya tidak
   memberi tanggapan, terus mengikuti makannya yang perlahan. Hanya hati
   yang semakin yakin bahwa Mas Tris sedang terayun dalam jiwa yang
   rapuh.
   
   Mungkin bagi mereka yang pernah membaca karyanya akan sepakat bahwa
   Trisnoyuwono adalah orang yang bersemangat. Misalnya karya karyanya
   yang terkumpul dalam "Laki-laki dan Mesiu " yang diterjemahkan dalam
   bahasa Sunda oleh almarhum Mien Resmana, ("Lalaki jeung Jajatenna").
   
   Dalam salah satu cerpennya yang dimuat majalah Roman (1956) berjudul
   "Ratnawati", gaya bahasa Trisno yang elastis tampak sekali. Bahasa
   yang digunakannya selalu bahasa ceria yang mengalir, enak dibaca.
   Cerpen- cerpennya yang pernah saya baca, umumnya disuguhkan dengan
   gaya menarik, kendati sebenarnya isinya cukup dalam dan sindirannya
   yang halus.
   
   Almarhum mulai dikenal sebagai pengarang Indonesia di akhir tahun
   50-an, seangkatan dengan Ayip Rosidi, SM Ardan, Sukanto.SA, Syuman
   Djaya, dll. Sebagai pengarang, almarhum sudah sering mendapat
   penghargaan. Antara lain, cerpennya berjudul "Tinggul" yang kemudian
   dibukukan dalam "Laki-laki dan Mesiu " mendapat hadiah I dari Majalah
   Sastra "Kisah". Kemudian kumpulan cerpen "Laki-laki dan Mesiu" juga
   mendapat penghargaan I dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional
   (l960), serta buku "Pagar Kawat Berduri" mendapat hadiah III dari
   Yayasan Yamin (l964). Namun setelah almarhum berangkat tua, buah
   pikirannya banyak yang tersimpan dalam batinnya, tidak mampu ia
   tuliskan. Pernah sekali almarhum meminta sebuah pengalamannya saya
   tulis. Saat itu saya mencoba menolak dengan alasan mungkin akan beda
   penuturannya bila saya yang menyuguhkannya. Saya malu karena saya
   masih merasa belajar. Seperti biasa almarhum memberi semangat dengan
   cara lain.
   
   "Sombong amat, lu, gua mintai tolong segitu saja."
   
   Saya tak kuasa menolak. Lalu beliau berbicara panjang, saya catat dan
   saya mencoba menyuguhkannya di "PR" Minggu. Saya merasa bangga waktu
   beliau memuji tulisan itu. Meskipun caranya memuji hanya tersirat dari
   kalimatnya yang sederhana.
   
   "Lu kan cuma sombong aja, sebenernya bisa, kan," katanya.
   
   Lain dengan tulisannya, yang selalu menyembunyikan kritiknya dengan
   halus, dalam cara bercerita yang segar, dalam kesehariannya almarhum
   selalu berbicara blak-blakan. Dari caranya ber-"elu dan ber-"gua" pada
   siapa saja yang ia akrabi, tampak bahwa Mas Tris tak pernah membedakan
   usia dan kedudukan seseorang. Asal ia merasa cocok, ia langsung akrab.
   Mas Tris tidak suka kepura-puraan. Kadang tampaknya ia tak peduli bila
   yang dikritiknya akan sakit hati. Itu hanya tampak di permukaan,
   karena sebenarnya almarhum tidak beritikad untuk menyakiti orang lain.
   Ia hanya suka seadanya.
   
   Seperti misalnya suatu ketika almarhum menitipkan kado pernikahan
   untuk anak saya. Kado itu diberikannya seadanya, masih lengkap dengan
   harganya, langsung dari toko. Saya agak kagok juga menerimanya. Dalam
   hati saya berbicara, bagaimana kalau anak menantu saya mengira sudah
   saya buka lebih dulu.
   
   "Ya sudah kasihkan, kenapa diam? Biar gua bungkus, nantinya kan akan
   dibuka juga," katanya. Benar juga, pikir saya.
   
   Lama saya tak pernah berjumpa, karena kantor tempat saya bekerja tidak
   lagi berdekatan. Namun pernah sekali almarhum menelpon, hanya
   menanyakan kesehatan saya.
   
   Mungkin pertemuan terakhir, kira-kira sebulan lalu. Saya mendengar
   bahwa almarhum sudah sangat lemah. Bersama beberapa karyawan dan
   karyawati "PR" saya menengok almarhum. Saya duduk di dekatnya dan saya
   bisikkan apakah Mas Tris masih ingat saya.
   
   " Ah, ini kan Aam," katanya. Seperti biasa, almarhum tak pernah
   memperlihatkan penderitaan. Dengan gaya khasnya, almarhum minta
   disuapi bubur tahu. Seorang-seorang disebut namanya, dan beliau memang
   masih ingat pada semuanya.
   
   Namun pada saat itu, beliau dengan lemah berkata.
   
   "Mas ingin menulis novel lagi, Am," ujarnya.
   
   Saya sembunyikan muka saya, agar tak tampak sedih. Ada sesuatu yang
   merasuk dalam kalbu yang terdalam, saat ia tidak lagi ber-"elu"dan
   ber-"gua" seperti biasanya. Dan benarlah, kabar kepergiannya saya
   terima pagi hari kemarin. Sosok yang selalu berusaha tegar itu telah
   dipanggil keharibaan-Nya. Inna lilaahi wa inna Illaihi Roji'un.
   Selamat jalan Mas Tris.(aam amilia)***

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda