PENGARUH TEOLOGI MU’TAZILAH DALAM TAFSIR AL-KASYAF
Masa pembukuan tafsir dimulai pada akhir dinasti Bani Umayah dan awal dinasti Abbasiyah. Pada masa ini penulisan tafsir belum dipisahkan secrara khusus yang hanya memuat tafsir Qur’an surat demi surat dan ayat demi ayat dari awal sampai akhir. Tafsir golongan ini tidak sedikitpun yang sampai kepada kita. Yang kita terima hanyalah nukilan-nukilan yang dinisbahkan kepada mereka sebagaimana termuat dalam kitab-kitab tafsir bil-mat’sur. Setelah generasi ini datanglah generasi berikutnya yan menulis tafsir secara sistematis sesuai dengan tertib mushaf al-Qur’an. Diatara mereka adalah Ibnu Jarir At-Thabarai (w. 310 H), Abu Bakar bin al-Munzir an-Naisaburi (w. 318 H), Ibnu Abi Hatim (w. 327 H) dan Abu Bakar al-Mardawaih (w. 410 H). Tafsir mereka memuat riwayat-riwayat yang disandarkan pada Rasulullah, sahabat, tabi’in dan itba’ at-tabiin. Ketika Islam semakin berkembang, perbedaan pendapat semakin meningkat, masalah-masalah kalam semakin berkobar, fanatisme mazhab semakin serius dan ilmu filsafat yang bercorak rasional bercampur baur dengan ilmu-ilmu naqli serta setiap golongan berupaya mendukung mazhabnya masing-masing, ini semua menyebabkan tafsir ternodai polusi udara tidak sehat. Oleh karenanya pada masa ini para mufasir ketika menafsirkan al-Qur’an berpegang pada pemahaman pribadi dan mengarah ke berbagai kecenderungan. Pada diri mereka melekat istilah-istilah ilmiah, akidah mazhabi dan pengetahuan falsafi. Ahli ilmu rasional hanya memperhatikan dalam tafsirnya kata-kata pujangga dan filosofis, seperti Fakhruddin al-Razi. Ahli fikih hanya membahas soal-soal fikih, seperti al-Jassas dan al-Qurthubi. Sejarawan hanya mementingkan kisah dan berita-berita, seperti as-Sa’labi dan al-Khazin. Begitupula golongan mazhabiyah mereka berupaya menta’wilkan Qur’an menurut selera mazhabnya, seperti ar-Rummani, al-Juba’i, al-Qadhi Abdul Jabbar dan Zamakhsyari dari kalangan Mu’tazilah, Mala Muhsin al-Kasyi dari golongan Syiah Imammiah Isna ‘Asyriyah, dan golongan ahli tasawuf hanya mengemukakan makna-makna isyari, seperti Ibnu ‘Arabi. Asal-Usul Mu’tazilah Kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti memisahkan diri. Kata ini berasal dari ucapan Hasan-Al-Basri i’tazala anna yang dialamatkan kepada Wshil bin Atha. Menurut Al-Bagdadi, Washil dan temannya Amr ibn Ubaid ibn Bab diusir oleh Hasan al-Bisri dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar. Menurut Ahmad Amin, nama Mu’tazilah sudah terdapat 100 tahun sebelum adanya peristiwa Wasil dan Hasan al-Basri. Nama tersebut diperuntukan bagi orang-orang yang tidak mengikuti peperangan Jamal dan Shifin sebagai akibat dari pertentangan politik dikalangan umat Islam ketika itu.Syeikh al-Mu’tazilah adalah Wasil bin Atha bergelar al-gazal. Ia lahir di Madinah pada tahun 80 H/699 M dan dibesarkan di Basrah serta menjadi murid Hasan al-bisri. Ia wafat tahun 131 H/748 M pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik dari dinasti Bani Umayah.Abdul Hasan al-Khayyath berkata,”seseorang tidak disebut Mu’tazilah sampai terdapat di dalam dirinya lima hal: tauhid, keadilan, janji dan ancaman, kedudukan diantara dua kedudukan, amr ma’ruf dan nahyi munkar. Tafsir Al-Kasyaf Tafsir ini ditulis oleh Abu Qasim Mahmud bin Umar al-Khawarizmi al-Zamakhsyari. Ia lahir 27 Rajab tahun 487 H di Zamakhsyari, dan wafat pada tahun 538 H di Jurjaniyah. Kata Zamakhsyari pada ujung namanya dinisbatkan kepada desa Zamakhsyar di khawarizmi, desa kelahiranya, ia bergelar Jarullah. Tafsir Al-Kasyaf adalah salah satu buah pena Zamakhsyari yang ditulis selama tiga tahun di Makkah al-Mukaramah atas permintaan Abu Hasan Ali Ibnu Hamzah. Tafsir ini ditulis berdasrkan susunan mushaf (tahlili), corak tafsirnya termasuk tafsir bil-ra’yi. Tafsir ini di dalamnya penuh dengan romantika balghah (kajian pilologi) serta kental dengan unsur-unsur teologi mu’tazilah. Tafsir ini termasuk tafsir apologis, yang menjadikan Qur’an sebagai alat legitimasi demi kepentinga pribadi, mazhab dan golongan. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun berkata, “Tafsir al-Kasyaf termasuk tafsir paling baik tentang bahasa, i’rab dan balagah. Hanya saja pengarangnya termasuk pengikut fanatik aliran mu’tazilah. Ia senantiasa membela mazhabnya yang rusak setiap kali ia menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dari segi balagah. Bagi kalangan Ahlussunah ini dianggap sebagai penyimpangan, dan bagi Jumhur ulama ini dianggap sebagai manipulasi terhadap rahasia dan kedudukan al-Qur’an. Namun demikian, tafsir ini perlu dibaca mengingat keindahan dan keunikan seni balagahnya”. Pengaruh teologi mu’tazilah dalam tafsir al-Kasyaf telah dikaji oleh para ulama. Diantara ulama yang telah berhasil menjelaskan dan membukukan teologi mu’tazilah dalam tafsir al-Kasyaf adalah: 1. Alammah Ahmad An-Nayyir, dalam kitab al-Intishaf 2. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, dalam As-Syafi fi Takhrij Ahadisil Kasyaf 3. Syeikh Muhammad Ulyan al-Marzuki, dalam Hasyiyah Tafsir al-Kasyaf dan Masyahidah Inshaf ‘Ala syawahidil Kasyaf Empat buah kitab ini telah dilampirkan pada tafsir al-Kasyaf yang diterbitkan oleh Al-Maktabah Al-Tijariyah Makkah oleh Mustaufa Muhsin Ahmad. Pengaruh Teologi Mu’tazilah Dalam Tafsir al-Kasyaf 1. Tauhid Tauhid pada hakikatnya merupakan inti ajaran Islam. Islam sebagai agama dipertaruhkan lewat tegaknya ajaran tentang tauhid ini. Ia merupakan akar dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Mu’tazilah menempatkan tauhid sebagai perinsip pertama dalam al-ushul al-khamsah mereka. Ini berarti kaum Mu’tazilah tidaklah menambahkan yang baru terhadap Islam. Mereka hanya melakukan suatu upaya pemurnian terhadap pemahaman tauhid agar tidak terseret kepada pemahaman yang merusak makna keesaan Allah. Dengan sangat ekstrem kaum Mu’tazilah menentang setiap ajaran yang menyerupakan Allah dengan manusia dan menetapkan adanya sifat-sifat Allah yang azali disamping zat-Nya yang azali. a. Sifat-Sifat Tuhan Aliran Mu’tazilah menolak paham beautific vision, karena menurutnya Tuhan bersifat imateri, sedangkan mata manusia adalah bersifat materi. Yang imateri hanya bisa dilihat oleh yang imateri. Seperti dalam QS. Al-An’am: 103 “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui.”. Menurut Zamakhsyari ayat ini sebagai penjelasan bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala kapanpun. Lafad nafi ( la ) yang terdapat pada ayat tersebut berlaku umum, tidak terkait waktu dan tempat tertentu, baik di dunia maupun di akhirat. Seperti dalam QS. Al-Qiyamah: 22-23 “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat”. Zamakhsyari berpendapat bahwa karena Tuhan bersifat imateri, maka tidak dapat dilihat dengan mata kepala. Kata nadhirah diartikan oleh Zamakhsyari dengan arti al-tawaqqu wa al-raja’ (penantian dan pengharapan). Allah adalah esa, dan tidak ada sesuatu apapun yang menyerupainya. Dia bukan jisim (materi), tidak bertubuh, tidak berbentuk, tidak berdaging, tidak berdarah, tidak adanya warna, rasa, panas, dingin, basah, dan lain-lain yang merupakan sifat makhluk. Berkaitan dengan persoalan nafy sifat ini adalah berkaitan dengan al-Qur’an sebagai kalam Allah. Zamakhsyari menganggap al-Qur’an adalah makhluk. Dalam menguatkan pendirianya tentang kemakhlukan al-Qur’an, Zamakhsyari mengatakan bahwa al-Qur’an tersusun dari surat-surat, kalimat-kalimat, huruf-huruf yang dapat dibaca dan didengarkan, ada permulaan dan ada akhirnya, maka tidak mungkin al-Qur’an itu Qadim. Sementara itu di dalam al-Qur’an terdapat cerita-cerita yang terjadi pada tempat dan waktu tertentu, ada yang menasakh dan yang dinaskh. Jika al-Qur’an qadim, maka tidak mungkin hal ini terjadi pada yang qadim. Dengan demikian al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah pada waktu yang diperlukan. 2. Al-‘Adl Al-‘Adl di sini adalah keadilan Tuhan, yang kaitannya dengan perbuatan-perbuatan Tuhan. Tuhan dikatakan adil jika perbuatan-perbuatan Tuhan itu bersifat baik. Tuhan tidak akan berbuat buruk (zalim) dan tidak melupakan apa yang dikerjakan-Nya. a. Free Will dan Predestnation Masalah free will dan predestination, yaitu faham kebebasan manusia dan fatalisme, menurut Aliran Mu’tazilah manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak serta juga berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Seperi contoh dalam QS.al-Baqarah: 272 “Bukanlah kewajiban menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberikan taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya” Dalam ayat ini Zamakhsyari berpendapat bahwa huda bukanlah Allah yang menciptakannya, akan tetapi hamba yang menciptakan huda (petunjuk) untuk dirinya sendiri. Seperti contoh dalam QS. Al-A’raf: 43 “Mereka berkata segala puji bagi Allah yang menunjuki kami kepada surga ini” Dalam ayat ini Zamakhsyari mengartikan huda di sini dengan arti kata luthf (kelembutan) dan taufiq. Zamakhsyari membelokkan petunjuk (huda) Allah kepada makna luthf (kelembutan) dengan sebab bahwa hamba yang menciptakan petunjuk untuk dirinya sendiri. Disamping itu keadilan Tuhan juga dibicarakan dalam kaitan dengan perbuatan manusia yang bebas dan merdeka tanpa paksaan. Jika manusia dituntut melakukan perbuatan-perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat, maka manusia harus mempunyai kebebasan untuk menentukan perbuatannya sendiri, bukan perbuatan yang ditentukan oleh Allah sebelumnya. Dengan demikian Allah tidak akan menjatuhkan pahala atau siksa kepada seorang hamba kecuali berdasarkan pilihan bebas dari hamba itu sendiri. Lanjutan dari jalan pikiran ini adalah bahwa Tuhan tidak memberikan beban yang tidak terpikul oleh manusia. Untuk itu Tuhan memberikan daya kepada manusia agar ia mampu memikul beban tersebut, menerangkan hakekat beban itu serta memberi upah atau hukuman atas perbuatan manusia sendiri.dan kalau Tuhan memberikan siksaan kepada manusia, maka siksaan itu adalah untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia, maka itu berarti Tuhan telah melalaikan kewajibannya sendiri. Namun bagi Mu’tazilah mengatakan Tuhan bersifat baik dengan perbuatan-perbuatan-Nya, belumlah cukup untuk menyatakan ke-Mahabaikan Tuhan. Untuk itu haruslah diyakini, Tuhan wajib memberikan yang baik dan terbaik bagi manusia (al-Shalah wa al-Ashlah) bila datangnya seorang rasul sangat berguna dan bermanfaat bagi manusia, maka menurut Mu’tazilah, mengirimkan Rasul kepada umat manusia agar manusia mendapat yang baik dan terbaik, juga merupakan kewajiban bagi Tuhan. 3. Al-Wa’ad wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman) Mu’tazilah mengedapankan pula bahwa janji dan ancaman Tuhan pasti terjadi. Allah berjanji dalam kitab suci untuk memasukkan orang yang berpahala ke dalam surga dan orang yang berdosa ke dalam neraka.oleh sebab itu menurutnya Tuhan tidak akan melakukan yang sebaliknya, memasukkan orang yang berdosa ke dalam surga dan memasukkan orang yang berpahala ke dalam neraka. Seperti pada QS.Al-An’am: 158 “Pada hari datangnya beberapa ayat dari Tuhan tidaklah bermanfaat lagi imam seseorang seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya” Zamakhsyari berpendapat bahwa orang kafir dan orang yang melakukan maksiat sama saja mereka itu kekal di dalam neraka. Bersinggungan erat dengan janji dan ancaman ini adalah ditolaknya oleh Mu’tazilah adanya Syafa’at (pengampunan pada hari kiamat) dengan mengenyampingkan ayat-ayat yang berbicara tentang syafa’at. Argumen yang dibawanya adalah bahwa syafa’at merupkan hal yang berlawanan dengan prinsip al-Wa’ad wa al-Wa’id. 4. Al-Manzilah baina al-Manzilatain Al-Manzilah baina al-Manzilatain secara harfiah berarti posisi diantara dua posisi, menurut Mu’tazilah bahwa yang dimaksud ungkapan itu adalah suatu tempat yang terletak diantara surga dan neraka. Washil bin Atha rela memisahkan diri dari Hasan al-Basri sebagai gurunya.Washil berpendirian bahwa orang yang berbuat dosa besar selain syirik, tidak termasuk mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasik. Kefasikan itu berada diantara iman dan kafir. Menurutnya tingkatan orang fasik berada di bawah orang mukmin dan di atas orang kafir. Demi melaksanakan keadilan Tuhan danjanji-Nya, orang yang serupa itu harus ditempatkan di antara surga dan neraka. Tetapi karena di akhirat tidak ada tempat lain, kecuali surga neraka, maka orang fasik itu dimasukkan ke dalam neraka, yang keadaannya berbeda dengan mereka yang diterima oleh orang kafir. 5. Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar Prinsip al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar banyak dijumpai dalam al-Qur’an. Oleh sebab itu prinsip ini bukan hanya milik Mu’tazilah, tetapi juga dianut oleh golongan umat Islam lainnya. Kaum Mu’tazilah berpendirian bahwa amar ma’ruf nahy munkar merupakan kewajiban yang harus dilaksakan oleh setiap mukmin. Hanya saja dalam pelaksanaan ajaran ini Mu’tazilah mempergunakan kekerasan. Dalam pandangan Mu’tazilah yang dikatakan ma’ruf adalah hal-hal yang mereka anggap benar dan baik menurut ajaran Islam dan apa-apa yang sejalan dengan pendapat merka itu, sedangkan hal-hal yang menyalahinya adalah dipandang munkar yang harus diberantas. Dalam melaksanakan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar ini Mu’tazilah berpendapat bahwa bila cukup dilaksanakandengan seruan dan ajakan yang lunak saja, berarti kewajiban sudah terpenuhi. Tetapi bila seruan dan ajakan yang lunak itu tidak berhasil mak perlu dilaksanakan dengan penuh kekerasan. Sejarah pemikiran Islam betapa giatnya orang-orang Mu’tazilah mempertahankan Islam dari kesesatan yang tersebar luas pada masa Abbasiyah. Kekerasan dalam mempertahankan kebenaran Islam dalam visi mereka itu ditujukan bukan hanya kepada orang-orang yang bukan Islam, tetapi juga kepada orang-orang atau ulama-ulama Islam. Sejarah mencatat bahwa imam Ahmad bin Hanbal pernah mengalami hal itu. **
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda