Membaca Al Hikam Dengan 2 Rasa
Seingatku aku pertama kali membaca terjemahan Al Hikam Kitab masyhur yang ditulis ulama kenamaan Ibn Atha’illah As Sakandary sesaat setelah lulus dari SMA, itupun pinjem dari teman. Walaupun saat itu sudah mulai ‘mengguncang’, dan cukup memberi warna dalam jiwaku, namun esensi itu terasa lain ketika tanpa sengaja alias kebetulan (tapi adakah kebetulan tanpa dalam genggaman KebenaranNya?)
Sebulan yang lalu ketika diajak seorang temen ke Toko Buku UD Halim. Awalnya pengen beli Cinta Bertasbih-nya Kang Abik, tapi ketika membaca sinopsisnya dibelakang bahwa ada kelanjutannya aku jadi ragu sendiri, bukan masalah isinya, untuk Kang Abik karyanya “Quality Guarranted” deh, tapi takutnya buku setebal itu bisa langsung abis dalam sehari dua hari, sementara sambungannya belum ada, takutnya ntar ‘menggantung’ (tapi yang jelas masalah utamanya adalah kangker alias kantong kering), ketika mata ini lebih terbuai oleh sebuah Buku Al Hikam Rampai Hikmah Ibn Atha’illah Disertai Ulasan Syekh Fadhalla Haeri Penerbit Serambi.
Sebenarnya banyak versi Terjemahan Al Hikam ini, namun yang membuatku lebih tertarik adalah ‘guarrantee’ dari KH Mustofa Bisri, (ulama kesayangan saya) disampulnya. Trus dihalaman pertama persis setelah membuka sampul terdapat tulisan yang cukup menggelitik,
“……bila buku demikian bermutu, tiada yang lama atau yang baru, yang ada, Anda belum membacanya….”
Boleh juga himbauannya…dan ‘memaksaku’ untuk merogoh kocek beli buku ini. (tentu dengan sepenuh hati).
Kalau saya pernah membaca Al-Hikam versi pertama saya, membuat degup jantung saya serasa ‘mengguncang, untuk yang kedua ini saya harus menangis berdarah-darah…. Luar Biasa….Nikmat tiada Tara….
Awal ketertarikan saya untuk membaca lagi Kitab Terjemah Al Hikam adalah sebuah pengajian dari seorang ulama KH Luqman Al Hakiem di MAS setiap hari Sabtu pekan terakhir setiap bulannya. Sekali pertemuan membahas satu bagian isi Al Hikam. Subhanallah…satu aja nggak habis dibahas hampir dua jam, bahkan kadang lebih. Sehingga membuatku penasaran lagi untuk membaca Al Hikam, kitab kelas berat yang sangat legendaris itu. Soalnya kalau harus menunggu ulasan sebulan sekali dengan satu ayat saja, lama bo! Tapi bagaimanapun pengajian yang dibawakan oleh KH Luqman Al Hakiem tetep punya bobot ‘rasa’ yang beda.
Pertama kali buku ini terbeli sebenarnya masih belum ada ‘keinginan’ untuk membacanya, (karena saya masih punya utang baca buku Mas Agus Sunyoto, Rahuvana Tattuwana, novel lumayan tebel ), dan buku terjemahan Al Hikam itu tersimpan dilaci meja kantor, dan lagi-lagi buku ini memang harus kubaca, ketika saya harus bersih-bersih laci n kutemukan buku ini.
Hari Jum’at kubawa pulang, sehabis sholat dengan Bismillah semoga saya mendapatkan sesuatu yang berharga dari buku ini, kumulai membacanya, dan dari halaman pertama hatiku sudah langsung digebrak…dengan kalimat
“Min ‘Alaamaa til I’timaadi ‘alal ‘amal nukhshoonur rojaai’indawujuudizzali”
Salah satu tanda bergantung pada amal adalah berkurangnya harapan tatkala gagal
Atau saat saya harus terpenthung dengan kalimat :
“Keinginanmu untuk lepas dari urusan duniawi, padahal Allah membekalimu dengan sarana penghidupan adalah syahwat yang samar, Sedangkan keinginanmu untuk mendapatkan sarana penghidupan, padahal Allah telah melepasmu dari urusan duniawi adalah suatu kemunduran dari cita-cita luhur”
Terjemahan bebas dari kalimat-kalimat itu bisa kau tanyakan pada qalbumu (istafti qalbak) karena sesungguhnya guru terbaik ada dalam dirimu sendiri. Insyaallah akan saya tulis lengkap terjemahan Al Hikam ini di lain kesempatan, karena buku itu baru terbaca separuhnya, tersendat karena setiap membaca kalimatnya saya masih harus terus menata hati untuk melanjutkan kalimat-kalimat berikutnya.
Sebulan yang lalu ketika diajak seorang temen ke Toko Buku UD Halim. Awalnya pengen beli Cinta Bertasbih-nya Kang Abik, tapi ketika membaca sinopsisnya dibelakang bahwa ada kelanjutannya aku jadi ragu sendiri, bukan masalah isinya, untuk Kang Abik karyanya “Quality Guarranted” deh, tapi takutnya buku setebal itu bisa langsung abis dalam sehari dua hari, sementara sambungannya belum ada, takutnya ntar ‘menggantung’ (tapi yang jelas masalah utamanya adalah kangker alias kantong kering), ketika mata ini lebih terbuai oleh sebuah Buku Al Hikam Rampai Hikmah Ibn Atha’illah Disertai Ulasan Syekh Fadhalla Haeri Penerbit Serambi.
Sebenarnya banyak versi Terjemahan Al Hikam ini, namun yang membuatku lebih tertarik adalah ‘guarrantee’ dari KH Mustofa Bisri, (ulama kesayangan saya) disampulnya. Trus dihalaman pertama persis setelah membuka sampul terdapat tulisan yang cukup menggelitik,
“……bila buku demikian bermutu, tiada yang lama atau yang baru, yang ada, Anda belum membacanya….”
Boleh juga himbauannya…dan ‘memaksaku’ untuk merogoh kocek beli buku ini. (tentu dengan sepenuh hati).
Kalau saya pernah membaca Al-Hikam versi pertama saya, membuat degup jantung saya serasa ‘mengguncang, untuk yang kedua ini saya harus menangis berdarah-darah…. Luar Biasa….Nikmat tiada Tara….
Awal ketertarikan saya untuk membaca lagi Kitab Terjemah Al Hikam adalah sebuah pengajian dari seorang ulama KH Luqman Al Hakiem di MAS setiap hari Sabtu pekan terakhir setiap bulannya. Sekali pertemuan membahas satu bagian isi Al Hikam. Subhanallah…satu aja nggak habis dibahas hampir dua jam, bahkan kadang lebih. Sehingga membuatku penasaran lagi untuk membaca Al Hikam, kitab kelas berat yang sangat legendaris itu. Soalnya kalau harus menunggu ulasan sebulan sekali dengan satu ayat saja, lama bo! Tapi bagaimanapun pengajian yang dibawakan oleh KH Luqman Al Hakiem tetep punya bobot ‘rasa’ yang beda.
Pertama kali buku ini terbeli sebenarnya masih belum ada ‘keinginan’ untuk membacanya, (karena saya masih punya utang baca buku Mas Agus Sunyoto, Rahuvana Tattuwana, novel lumayan tebel ), dan buku terjemahan Al Hikam itu tersimpan dilaci meja kantor, dan lagi-lagi buku ini memang harus kubaca, ketika saya harus bersih-bersih laci n kutemukan buku ini.
Hari Jum’at kubawa pulang, sehabis sholat dengan Bismillah semoga saya mendapatkan sesuatu yang berharga dari buku ini, kumulai membacanya, dan dari halaman pertama hatiku sudah langsung digebrak…dengan kalimat
“Min ‘Alaamaa til I’timaadi ‘alal ‘amal nukhshoonur rojaai’indawujuudizzali”
Salah satu tanda bergantung pada amal adalah berkurangnya harapan tatkala gagal
Atau saat saya harus terpenthung dengan kalimat :
“Keinginanmu untuk lepas dari urusan duniawi, padahal Allah membekalimu dengan sarana penghidupan adalah syahwat yang samar, Sedangkan keinginanmu untuk mendapatkan sarana penghidupan, padahal Allah telah melepasmu dari urusan duniawi adalah suatu kemunduran dari cita-cita luhur”
Terjemahan bebas dari kalimat-kalimat itu bisa kau tanyakan pada qalbumu (istafti qalbak) karena sesungguhnya guru terbaik ada dalam dirimu sendiri. Insyaallah akan saya tulis lengkap terjemahan Al Hikam ini di lain kesempatan, karena buku itu baru terbaca separuhnya, tersendat karena setiap membaca kalimatnya saya masih harus terus menata hati untuk melanjutkan kalimat-kalimat berikutnya.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda